Tikam Samurai - 391

‘’Cukup banyak yang Anda ketahui, Fabian. Saya harap, saya dapat cerita yang cukup banyak pula..’’
‘’Tentang negerimu, di sini tak ada yang dirahasiakan Bungsu. Semua terbeber tanpa ada yang disembunyikan sedikitpun. Dibeberkan oleh puluhan wartawan Barat dan Timur dalam berbagai bahasa. Namun saya kurang tahu apakah ada pasukan Belanda yang dikirim lewat Singapura atau tidak, itu memang dirahasiakan Belanda. Kini ada satu soal yang ingin saya katakan padamu….’’
Bekas kapten Baret Hijau itu tak melanjutkan ucapannya. Dia menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan. Si Bungsu segera ingat bangunan itu. Hatinya berdegub kencang. Gedung itu adalah gedung Konsulat Indonesia. Dia pernah di sini beberapa tahun yang lalu.
Atase Militer di Konsulat adalah sahabatnya, Overste Nurdin. Teman seperjuangannya ketika melawan Belanda di Pekanbaru. Lebih daripada itu, isteri atas militer itu adalah Salma. Gadis yang meninggalkan bekas amat dalam di hatinya.
‘’Ingat gedung ini?’’ tanya Fabian.
‘’Apakah mereka masih di sini?’’ Si Bungsu balik bertanya. Perlahan Fabian menjalankan mobilnya kembali.
‘’Tidak. Mereka telah pindah. Mereka kini di India. Overste Nurdin menjabat sebagai Atase Militer di New Delhi.
‘’Sudah lama mereka pindah?’’
‘’Setahun yang lalu’’
‘’Anda hadir di sini ketika dia pindah?’’
‘’Sahabatmu adalah juga sahabat saya, Bungsu. Demikian juga mereka memperlakukan kami. Kami mereka anggap penggantimu. Kami mereka undang dalam tiap acara resepsi yang diadakan Konsulat. Demikian pula ketika overste itu dipindahkan. Pada acara perpisahan dengannya, kami juga diundang..’’
Si Bungsu menarik nafas, membayangkan masa lalunya ketika di Bukitinggi. Mobil yang mereka kendarai meluncur terus di jalan-jalan kota Singapura yang kelihatan bersih dan teratur. Di suatu tempat, di daerah Petaling Jaya, mobil itu membelok ke sebuah pekarangan yang amat luas dan berpagar tinggi. Jauh di tengah pekarangan itu tegak sebuah rumah model Tahun 1800 yang antik.
Padang rumput pekarangan luas itu berwarna hijau bersih. Dan di tengah lapangan hijau itu, rumah antik tahun 1800 itu seperti muncul tiba-tiba. Berwarna putih kemerlap dengan lampu-lampu kristal. Putih bersih di tengah permadani hijau. Benar-benar pemandangan yang mempesona. Di depannya ada taman dengan pohon-pohon bonsai dan bambu cina.
‘’Ini rumahku. Di sini aku dan ibuku tinggal, Bungsu..’’ Fabian berkata sambil menghentikan mobilnya. Seekor anjing jenis pudel yang lucu berlari menyongsong.
‘’Ini bukan rumah, Fabian. Ini istana..’’ kata si Bungsu tak habis-habisnya mengagumi rumah bertaman yang ditata dengan selera aristokrat itu.
‘’Mari kita menemui Ibu..’’
Si Bungsu melangkah menaiki tangga bersusun empat panjang-panjang. Nyaris sepanjang bahagian depan rumah tersebut. Dan di pintu, berdiri ibu Fabian. Perempuan tua itu kelihatan anggun dan berwajah ramah. Fabian mengenalkan si Bungsu pada ibunya. Tak berapa lama mereka berada di rumah, sebuah mobil sedan lain muncul dan berhenti di halaman. Dari dalamnya keluar Tongky, Negro yang ahli menyamar itu. Mereka berkumpul di ruang samping.
‘’Siapa turis-turis itu sebenarnya?’’
Kapten Fabian memulai pembicaraan. Tongky tak segera menjawab. Dia menghirup jus dingin yang dia ambil dari lemari es.
‘’Ada enam puluh turis dari Belanda, Jerman dan Scotlandia. Sepuluh di antaranya perempuan. Tapi dari limapuluh lelaki yang mengaku turis itu, saya rasa empat puluh diantaranya adalah tentara reguler. Saya tak yakin mereka orang Scot, Jerman atau bangsa manapun, mereka itu orang Belanda. Saya berani bertaruh. Dan saya berhasil mendapatkan ini dari salah satu kantong mereka’’
Tongky memberikan sehelai kertas kepada Kapten Fabian. Kertas itu dikembangkan di atas meja. Si Bungsu melihat kertas itu tak lain daripada sebuah peta. Peta Singapura.
‘’Saya juga memiliki peta itu..’’ ujar si Bungsu.
Dia mengambil dari kantongnya sebuah peta yang nyaris sama. Peta itu adalah brosur pariwisata yang dapat diambil gratis di Airport Payalebar.
‘’Ini hanya peta pariwisata yang dibagikan gratis..’’ katanya.
Peta itu memang mirip sekali. Di sana ditunjukan beberapa tempat wisata. Beberapa pulau dan teluk. Pelabuhan dan terminal taksi. Bank dan lapangan udara.
‘’Tidak, Bungsu. Ini memang mirip dengan milikmu. Tapi ini ada bedanya. Ini..’’
Fabian lalu menunjuk ke sebuah teluk di selatan Singapura. Tak begitu kentara, namun jelas ditandai dengan pinsil. Tanda yang tak begitu menyolok. Kemudian Fabian juga menunjuk beberapa titik di pelabuhan Singapura. Tanda beberapa kapal yang berlabuh.
‘’Ini adalah kapal-kapal dagang. Tapi ada bedanya. Di teluk ini, dengan tanda pensil bergambar garis bengkok ini, adalah semacam kode dalam kemiliteran, bahwa di sini ada kapal selam. Dan ini… kapal-kapal dagang yang ditandai ini, diantara puluhan kapal dagang di pelabuhan, ada lima kapal perang yang disulap seperti kapal dagang. Meriam-meriam dikamuflase sedemikian rupa, sehingga sepintas nampaknya seperti tumpukan peti barang..’’ papar Fabian.



@



Tikam Samurai - 391