Melihat pesawat dari Belanda itu dia segera teringat pada situasi Indonesia yang baru saja dia tinggalkan. Presiden Soekarno sedang gencar-gencarnya atas nama rakyat Indonesia menuntut dikembalikannya Irian Barat ke tangan Indonesia. Beberapa benturan kecil telah terjadi di sekitar Irian antara pasukan Indonesia dengan pasukan Belanda. Belanda tetap bersikeras mempertahankan Irian di bawah kekuasaannya.
Tak lama setelah pesawat itu berhenti, kelihatan turis-turis Belanda turun. Pakaian mereka beraneka warna. Lelaki perempuan. Ada firasat aneh yang tiba-tiba saja menyelusup di hati si Bungsu, melihat turis-turis tersebut turun dari pesawat KLM. Dia tak segera keluar dari tempat pemeriksaan. Ada beberapa saat dia menanti. Sampai akhirnya turis-turis itu juga masuk ke ruangan nya. Ketika itulah seorang lelaki menepuk bahunya. Dia menoleh, dan…….
“Fabian…!” serunya sambil bangkit dan segera saja kedua lelaki itu berangkulan.
“Hai, kau kelihatan kurus, Letnan..” ujar mantan kapten Baret Hijau itu sambil mengucek-ngucek rambut di kepala si Bungsu.
“Masih kau ingat dia…?” berkata begitu si Kapten menunjuk seorang Negro bertubuh atletis.
“Tongky…!!” seru si Bungsu begitu mengenali lelaki itu.
“Letnan Bungsu..!” seru tongky si negro. Mereka segera saling peluk. Si Bungsu terharu, mendengar kedua bekas pasukan Baret Hijau dari Inggris ini masih memanggilnya dengan sebutan letnan. Pangkat itu memang pernah “diberikan” padanya, ketika mereka akan berperang melawan sindikat penjualan wanita di Singapura ini beberapa tahun yang lalu. Semacam pangkat tituler, sebab kemahirannya ternyata melebihi kemahiran rata-rata anggota baret hijau itu dalam hal bela diri.
“Mana teman-teman yang lain?”
“Mereka mempersiapkan perjalan kita.
“Nanti kita akan berkumpul di rumahku. Hei… Sejak tadi engkau memperhatikan turis-turis itu..” bisik kapten Fabian ketika menyebut kalimat terakhir ini.
Si Bungsu kagum juga, ternyata kawannya ini mengetahui apa yang dia perhatikan.
“Saya ingin tahu dimana mereka menginap, Kapten…” Katanya pelan
“Itu mudah diatur…”
“Juga hal-hal lain yang dirasa perlu tentang identitas mereka..”
“Mudah diatur, Tongki akan menyelesaikannya…”
Si Bungsu segera ingat pada teman negronya yang bernama Tongki itu. Seorang ahli menyamar dan menyusup yang nyaris tak ada duanya. Tongki mengerdipkan mata. Kemudian si Bungsu meninggalkan lapangan udara Paya Lebar itu bersama Fabian. Meninggalkan Tongki disana. Mencari informasi tentang turis-turis tersebut. Mereka nenuju sebuah mobil Cadilac besar berwarna hitam metalik.
“Mobilmu Kapten?”
“Yap.”
“Kau kaya sekarang”
“Bukan aku, tapi ayahku. Dua tahun yang lalu ayahku meninggal di Inggris. Dia tak punya ahliwaris selain aku dan ibuku. Kini ibuku ada disini. Kau bisa bertemu nanti. Ayahku meninggalkan harta tak tanggung-tanggung. Barang kali dia dulu korupsi…”
Si Bungsu menatap heran.
“Ah tidak, ayahku seorang bangsawan”.
Kapten itu tersenyum, menjalankan mobilnya keluar areal pelabuhan. Mereka meluncur di jalan raya.
“Turis yang kau curigai tadi, apakah mereka dari Belanda?” Fabian bertanya sambil menyetir mobil.
“Ya. Nampaknya mereka dari Belanda. Saya mendengar bahasa yang mereka gunakan..”
“Kau hawatir bahwa mereka sebenarnya akan menuju Irian Barat?”
Si Bungsu menoleh pada kawannya itu. Dia hanya menduga semulanya. Apakah kapten ini mengetahui lebih jauh?
“Saya mengikuti berita-berita yang terjadi di negerimu, Bungsu. Saya punya bisnis di Singapura ini. Dan salah satu negeri terdekat, salah satu negeri dimana ekonomi Singapura terkait, adalah negerimu. Saya mengikuti setiap yang terjadi di sana. Dan kami bukannya tak tahu, saat ini banyak sukarelawan Indonesia yang telah diterjunkan di daratan Irian. Sukarelawan yang tak lain daripada pasukan-pasukan komando. Saya tak bersimpati dengan pemimpin negaramu, Bungsu. Terlalu dekat dengan komunis. Saya hanya simpati denganmu. Saya juga pernah mendengar bahwa ada pasukan-pasukan organik Belanda yang telah diselusupkan ke Irian. Dan.. mana tahu, karena tak dapat mengirim pasukan secara terang-terangan, mereka justru memakai jalur turis, bukan?
Si Bungsu tak menjawab. Selama di Indonesia dia memang tak tertarik sedikitpun soal Irian Barat itu. Masalah yang dia hadapi adalah masalah dimana dia berada secara langsung. Yaitu di tengah kecamuk pergolakan PRRI. Dia hanya mendengar soal Irian Barat itu dari siaran-siaran radio. Tapi begitu sampai di negeri orang, entah mengapa, ada saja suatu rasa yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata, betapa rasa solidaritas, rasa bangga terhadap tanah air, dan rasa amarah terhadap orang yang ingin meneruskan penjajahan, tiba-tiba saja meresap demikian dalamnya.
@
Tikam Samurai - IV