Tikam Samurai - 400

Apakah Tongky dan si Bungsu tak mematuhi petunjuknya untuk menyelam sedalam mungkin, baru kemudian setelah tiba di bawah perut kapal naik melengketkan dinamit ke perut kapal, lalu menyelam lagi sedalam mungkin untuk menghindar dengan kedalaman yang sama waktu datang?
Kalaupun tembakan itu tak mengenai kedua mereka, maka baling-baling kapal bisa mencelakakan. Kedua orang itu akan tersedot ke dalam putaran turbin yang bisa memecahkan skuba, alat penyelam mereka, dan … maut! Tongky melihat kapal itu mulai bergerak tatkala beberapa meter lagi mereka akan mencapai kapal tersebut. Dia segera tahu, kehadiran mereka telah diketahui. Dia memberi isyarat pada si Bungsu yang berenang sedikit di belakangnya. Si Bungsu mengangguk, karena dalam air laut yang jernih itu dia telah melihat kapal selam itu bergerak.
Tongky memberi isyarat untuk berenang dengan segenap tenaga. Mereka berdua mengerahkan tenaga. Sambil berenang Tongky mempersiapkan dinamit yang telah dipasang ke sebuah besi berani. Asal saja mereka bisa mendekati kapal itu, besi berani berdinamit itu hanya tinggal melekatkan saja. Dia akan lengket. Tongky menyetel jam di dinamit untuk waktu lima menit. Dia memberi isyarat pada si Bungsu yang tengah mempersiapkan dinamitnya pula.
Si Bungsu melihat kelima jari kanan Tongky dikembangkan, sambil mendayungkan kakinya yang memakai telapak itik dari karet itu kuat-kuat, dia menyetel jam dinamit itu ke angka lima. Mereka berpacu mendekati. Dan saat itulah kedua marinir di atas menembakan bedil otomatisnya. Tembakan itu tak ditujukan kepada mereka sebab mereka tak kelihatan. Tembakan itu ditujukan pada tali yang menyangga kapal itu ke pohon beringin. Tak ada waktu lagi untuk membukanya baik-baik. Keduanya menembak saja tali yang terjuntai ke laut, putus!
Kapal itu bergerak ke tengah, sambil mulai menyelam. Tongky sampai duluan, sekali jangkau dinamit itu lekat. Namun bahaya lain mengancam kedua orang ini. Yaitu putaran baling-baling kapal! Di tempat lain, Miquel yang menjaga tak jauh dari rumah diplomat Belanda itu tiba-tiba melihat dua kendaraan keluar lewat pintu belakang.
‘’Ini dia..’’ bisik blasteran Spanyol – Amerika itu.
Dia membuang rokoknya. Memperhatikan arah mobil tersebut. Kemudian dia naik ke truk tua yang sejak tadi dia parkir di tempat tersembunyi. Dia segera tahu jalan mana yang akan ditempuh oleh kedua sedan yang baru keluar itu. Dengan tenang dia menjalankan truknya. Satu kilometer di pinggir kota, jalan jadi sempit. Kedua sedan yang masing-masing membawa lima marinir itu melaju dengan kecepatan penuh.
Namun ketika menikung ke kanan, tiba-tiba di depan ada truk merah yang berjalan lambat. Kedua sedan itu membunyikan tuter. Namun truk itu tetap saja tak beringsut. Jalannya lambat sekali.
“Hei…! minggir….minggir!’’ seru salah seorang marinir sambil mengeluarkan kepala dari jendela.
Tapi sopir truk itu seperti tak mendengar. Jalan truknya tetap seperti beringsut. Tak ada jalan untuk ke kiri atau ke kanan. Di kiri kanan jalan ada parit besar seperti riol pengaman air. Mau tak mau, mereka harus mengikut terus di belakang truk itu. Dan memaki-maki untuk mempercepat.
Karena truk itu tetap lambat, akhirnya si komandan kapal selam itu menembak ban truk itu. Dan itu memang yang ditunggu Miquel yang menyopir truk itu. Begitu dia mendengar tembakan dan merasa ban belakangnya pecah, dia seperti kaget. Stir dia banting ke kiri sedikit, lalu sekuat tenaga memasukan gigi satu, menekan gas sekuatnya. Mesin truk itu sudah distel demikian rupa. Begitu gas ditekan dalam persneling satu, truk tersebut seperti terlompat, dan Miquel membanting stir kuat-kuat ke kanan. Kendaraan yang dibelokkan tiba-tiba memang tak punya pilihan lain selain terbalik!
Truk itu terbalik menutup jalan kecil itu secara total! Miquel menggapai palang besi pengaman di depan stir. Kedua sedan di belakang berhenti mendadak. Ke sepuluh awaknya menyumpah dan memaki. Melompat turun! Begitu truk terbalik, Miquel memecahkan kantong plastik di balik kemejanya. Kantong plastik itu berisi cairan merah darah. Kantong itu pecah. Bajunya dibasahi cairan merah, mengalir ke tubuhnya, dan dia menelentangkan diri, mengerang, merintih. Saat itu bermunculan para marinir Belanda di sana. Memaki-maki. Menyumpah-nyumpah.
Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Si sopir kelihatan bergelimang darah. Tak sadar diri. Dua orang segera menyingkirkan tubuh Miquel keluar. Lalu bersama-sama mereka mencoba menyingkirkan truk yang menghalangi jalan itu. Menggeser sebuah truk yang terbalik bukanlah usaha yang mudah, apalagi hanya dengan tenaga sepuluh orang.
Setelah hampir setengah jam truk itu akhirnya tergeser. Kedua sedan itu bisa lewat. Mereka meninggalkan truk tersebut bersama Miquel yang masih terbaring diam. Setengah jam merupakan perpanjangan waktu yang tak sedikit bagi Fabian dan si Bungsu. Begitu sedan itu menjauh, Miquel bangkit sambil tersenyum.
‘’Tugasku selesai, kawan. Terserah kalian acara berikutnya…. Dua setengah jam …’’ katanya sambil melirik jam tangan, lalu memasuki belukar, mengambil jalan pintas menuju kota.



@



Tikam Samurai - 400