Datuk itu bicara lagi, perlahan :
“Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku………Saburo….!”
Ucapannya tererhenti, darah menyembur dari mulutnya. Dan lelaki perkasa itu, yang memakai kopiah berlilit berukir-ukir pertanda jabatan penghulunya, jatuh tertelentang. Dia tak pernah mengeluh. Samurai yang tertancap di dadanya tegak seperti tonggak peringatan. Tegak angkuh dan kukuh. Sekukuh lelaki yang mati di ujungnya.
Datuk itu mati sedepa dari tempat isterinya. Matanya menatap ke langit yang tinggi. Seekor Elang terbang melintas. Suara pekiknya terdengar menyayat pilu. Saburo merasa bulu tengkuknya berdiri mendengar sumpah Datuk itu tadi. Anak gadis Datuk itu tiba-tiba menghambur ke tengah mengejar ibu dan ayahnya yang bermandi darah. Namun tangannya disambar oleh Saburo.
“Bersihkan kampung ini !” teriaknya pada anak buahnya.
Dan begitu anak buahnya memencar, dia segera menyeret gadis bertubuh montok itu naik ke rumah Adat. Gadis itu meronta dan memberikan perlawanan. Dia belajar silat Kumango dari ayahnya. Kini dia mencoba melawan kehendak Jepang laknat itu. Namun di tangan Saburo, yang tidak hanya mengerti ilmu samurai, tapi juga mahir dalam Karate dan Judo, kepandaian gadis ini jadi tak ada artinya.
Tangannya memang berhasil menampar Kapten itu tiga kali. Tapi begitu Saburo membalas menamparnya sekali saja, gadis itu pingsan. Saburo memangku tubuhnya yang tersimbah itu ke atas rumah. Di tengah ruang dia tegak. Mencari dimana letak bilik. Saat terpandang pada kamar gadis itu sendiri, dia melangkah ke sana. Kamar itu bersih dan indah. Bau harum bunga melati menyelusup ke hidungnya. Itu menyebabkan nafsunya menyala.
Dia menghempaskan tubuh anak gadis Datuk Berbangsa itu ke kasur. Kaki gadis itu terkulai ke bawah tempat tidur. Dan kainnya tersimbah lebar. Di bawah rumah itu ada kandang ayam sedang mengerami selusin anaknya yang gemuk-gemuk. Suara berdentam di atas rumah, yang ditimbulkan oleh sepatu Saburo ketika naik tadi mengejutkan ayam-ayam tersebut.
Induk ayam itu tegak dan berlari ke tempat gelap. Anak-anaknya memburu dan menyeruak sayap ibunya dan masuk ke bawah sahap induknya. Salah seekor di antaranya, yang berwarna putih pucat, gemuk dan besar, masih berputar-putar di luar.
Induknya diam saja melindungi anaknya yang sebelas ekor. Anak ayam yang satu itu mulai memutari tubuh induknya. Kemudian menyeruak di antara bulu sayap induknya yang hitam kepirang-pirangan. Induknya merapatkan sayap. Beberapa kali anak ayam gemuk itu tak berhasil masuk ke bawah ruangan di bawah perut ibunya. Tapi akhirnya, dia berhasil juga. Dia merasa hangat di bawah perut induknya itu. Tubuhnya berputar-putar di antara sebelas saudaranya yang lain. Tubuh induknya tergoyang-goyang karena dia berputar-putar di bawah.
Di halaman, enam depa dari kedua tubuh ayah dan ibunya, si Bungsu masih tetap tertunduk. Dia tak berani bergerak sedikitpun. Meski di halaman itu hanya ada seorang serdadu, dan serdadu itu tegak sebelas depa darinya, membelakanginya pula. Menghadap ke belakang rumah. Namun si Bungsu tak pernah punya keberanian sedikitpun untuk tegak mendekati tubuh Ayah dan Ibunya.
Dia juga tak punya keberanian untuk menolong kehormatan kakaknya yang dirajah Saburo Matsuyama di atas rumah mereka. Tidak. Dia memang tak punya keberanian sedikitpun selama ini. Keberaniannya hanya satu. Yaitu main judi. Tapi kini apa guna kepandaiannya yang satu itu? Sebagai anak lelaki dia anak lelaki yang ”tak lengkap”, betapapun dia pernah amat membanggakan ”ilmu” judinya.
Di kamar di atas rumah gadang itu, kakak si Bungsu tiba-tiba tersadar. Dia merasa lehernya pedih dan panas. Merasa ada nafas mendengus di wajahnya. Merasa tubuhnya disimbahi peluh. Merasa ada beban berat menghimpitnya. Dan tiba-tiba dia memekik dan melambung tegak. Tapi pekiknya terhenti tatkala Saburo menyabetkan samurainya.
Gadis itu terkulai ke jendela. Dia menutup dadanya dengan tangan. Matanya menatap sayu ke halaman. Menatap pada mayat ayah dan ibunya. Dan matanya terhenti pada wajah si Bungsu yang masih duduk berlutut dan memandang padanya. Bibir gadis itu bergerak. Seperti bicara pada adiknya. Namun tak ada suara yang keluar. Matanya segera layu. Dan kepalanya terkulai ke bendul jendela. Si Bungsu masih terpaku di tempatnya dengan penuh ketakutan. Tertunduk dengan diam.
Tak lama kemudian dia lihat Kapten Saburo Matsuyama turun dari rumah sambil melekatkan ikat pinggang. Di halaman dia terhenti tatkala terpandang pada si Bungsu. Dia segera ingat pada sumpah Datuk Berbangsa. Ingat pada sumpahnya yang akan menuntut balas. Siapa yang akan menuntutkan balasnya selain dari anaknya ini? Dengan kesimpulan begitu dia lalu mendekati si Bungsu. Takut Si Bungsu muncul.
“Aaaa..ampuun tuan. Ampuun!” dia bermohon-mohon dengan tubuh menggigil.
Beberapa penduduk yang melihatnya dari kejauhan menjadi jijik dan mual melihat sikap anak muda ini. Mereka seakan ingin menginjak-injak anak muda pengecut itu. Benar-benar jahanam! Benar-benar laknat. Anak haram jadah!, maki mereka.
@
I. Tikam Samurai