Tikam Samurai - 15

Malam itu dia menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua? Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang ”runcing tanduk”. Datuk itu memang sudah lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan gadisnya yang bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang kampungnya.
Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit. Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang di mana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam. Dia mengumpulkan tenaga. Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu.
Dia merasa malu lama-lama berada dekat mayat ayahnya. Malu karena perbedaan yang alangkah jauhnya antara dia dan si ayah. Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang jarang tandingannya. Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib bagi nama baik ayah dan keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya. Saat itu ibu, ayah dan kakaknya tertegun di tangga.
”Engkau memang dilahirkan  untuk jadi dajal buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau. Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami untuk kau jual?”
Suara ayahnya seperti bergema lagi. Dia tersentak kaget. Ayahnya pasti telah mendengarnya pula dari Datuk Maruhun atau dari orang lain, tentang perjumpaan mereka di sasaran rahasia itu. Pastilah ayahnya juga menduga seperti dugaan Datuk Maruhun dan teman-temannya, bahwa dialah yang membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang. Hatinya jadi amat terpukul.
Lambat-lambat dia bergerak ke dekat mayat ibunya.
Wajah ibunya kelihatan tenang. Hatinya jadi luluh. Kepalanya menoleh ke rumah. Di jendela dilihatnya mayat kakaknya masih terkulai. Dia ingin menangis. Namun dia tak tahu bagaimana cara menangisi malapetaka yang begini dahsyat.
Kalau salah satu saja dari keluarganya yang mati, mungkin dia bisa menangis. Tapi kini ketiga mereka. Dia hanya sebatang kara kini. Bagaimana caranya dia harus menangisi kemalangan ini? Kemalangan yang bagaimana pula yang telah menimpanya, sehingga untuk menangis saja dia tak tahu bagaimana caranya? Tiba-tiba tangan ibunya bergerak perlahan. Perlahan sekali. Namun dia melihatnya dengan jelas.
“Ibu . .” panggilnya perlahan sambil mengangkat kepala perempuan separoh baya itu.
Hatinya berdebar. Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di bibirnya. Tangannya perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.
“Ibu …”
“Bungsu. . . engkau kini tinggal sendiri nak. Hati-hati menjaga diri. . .” Perempuan itu terhenti. Kembali menjilat air di bibirnya. Kemudian terdengar lagi suaranya mendesah.
“Ayahmu ingin engkau menjadi anak yang baik . . .”
Perempuan itu terhenti lagi. Dia seperti mengumpulkan tenaga terakhir. Nampaknya dia memang menunda datangnya maut untuk bisa bicara dengan anak bungsunya ini.
“Bungsu … anakku. Kata orang engkau membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi.. . Tapi ibu tak percaya. Ibu tak percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik. . katakanlah Bungsu. . … bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang kampungmu .”
Perempuan itu terhenti. Matanya terpejam lagi. Nafasnya tinggal satu-satu. Namun dia berusaha membuka matanya, untuk melihat wajah anaknya. Untuk melihat dan mendengar jawaban anaknya.
Si Bungsu ingin bicara. Banyak sekali yang ingin dia sampaikan. Tapi kerongkongannya rasa tersumbat. Dia hanya mampu menggeleng dan menggenggam tangan ibunya, menciumnya. Pipinya basah oleh air mata.
Si ibu seperti dapat membaca yang tersirat di fikiran anaknya. Meskipun anaknya tak bicara sepatahpun, hanya menggeleng, tapi naluri seorang ibu dapat membaca apa yang terkandung di hati anaknya. Perempuan itu seperti tersenyum. Matanya terpejam. Kepalanya terkulai. Dan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam hujan rintik yang makin lebat itu.
Seorang ibu sejati telah mati. Ibu yang tak membedakan kasih terhadap anak-anaknya. Di antara anak-anaknya yang pandai dan yang bodoh, di antara anak-anaknya yang gagah dan yang cacat, di antara anak-anaknya yang berbudi dan yang jadi jahanam, seorang ibu tetap berbagi kasih sama besarnya. Seorang ibu tetap menginginkan kebahagiaan yang sama untuk semua anaknya.
Dan sore itu si Bungsu merasakan betapa sebenarnya dia memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia rasakan justru setelah ibunya meninggal dunia. Dia membutuhkan bimbingan dan kasih sayang seorang ayah. Justru setelah ayahnya meninggal. Dia membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Justru dia rasakan setelah kakaknya meninggal! Alangkah tragisnya nasib manusia ini. Memang benar kata orang, bahwa setiap anak takkan menyadari betapa dia sebenarnya membutuhkan kasih sayang ibu dan ayahya, ketika si ibu dan si ayah masih hidup.



@



Tikam Samurai - 15