Hari kedua sejak peristiwa berdarah itu, si Bungsu masih duduk di sana. Di halaman rumah gadangnya. Di antara puing reruntuhan rumah-rumah di kampungnya itu. Dia duduk dengan kepala ibu di pahanya. Sampai hari ketiga dia tak mampu bergerak dari sana. Luka di punggungnya amat nyeri. Untung udara dingin dan hujan banyak menolong lukanya. Tak ada lalat yang merubungi.
Barulah di hari ketiga dia berusaha bangkit dengan tubuh seperti akan tercabik dua. Dia harus mengubur mayat ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga harus mengubur mayat tujuh orang lelaki, perempuan dan seorang anak-anak lainnya di kampung itu. Sebab tak ada manusia seorangpun di sana. Mereka telah lari mengungsi.
Hujan lebat yang turun beberapa hari jua yang menyebabkan tanah jadi lembut dan mudah digali. Dengan mengatupkan gigi, dia mencabut Samurai yang tertancap tegak di dada kiri ayahnya. Kemudian dia mulai menggali tanah di dekat jasad ayahnya itu dengan samurai tersebut. Mayat ayah dan ibunya hanya berjarak sedepa. Dia menggali di tengah kedua orang itu. Kemudian memasukkan mayat ibu bapanya ke satu lobang.
Hari kelima baru dia selesai mengubur seluruh jenazah di kampung itu. Mereka dia kubur sekedarnya. Sekedar tertimbun dan hilang tak berbau dan mudah-mudahan tak digali hewan. Mereka dia kubur di dekat mayatnya terbaring. Ada yang di dekat tangga seperti kakaknya. Ada yang di tengah halaman seperti ibunya. Ada yang di bawah pohon seperti beberapa tetangga lainnya. Dia harus menguburkan mereka semua. Meskipun semasa hidupnya, mereka membencinya Dia tak punya rasa dendam sedikitpun terhadap orang kampungnya ini.
Hari keenam, dia melangkah entah kemana. Hari sudah senja. Dia berjalan tertatih-tatih. Hujan dan udara sejuk telah menyelamatkan luka dipunggungnya yang lebar untuk tak lekas membusuk. Dalam perjalanan, tiba-tiba dia menyadari bahwa selain untuk menggali kubur, dia juga mempergunakan Samurai yang tertancap di dada ayahnya sebagai tongkat penyangga agar tubuhnya tak rubuh. Tak dia ingat kapan masanya dia memungut sarung samurai itu. Tapi yang jelas kini dia memegangnya.
Semula dia berniat untuk membuang samurai itu. Dia memotong sebuah kayu sebesar lengan. Tapi tiba-tiba dia tertegun. Suara dan sumpah ayahnya sesaat sebelum roboh setelah dihantam Samurai Saburo, terngiang kemballi.
“Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku………Saburo….!”
Tangannya menggigil mengingat sumpah itu. Dan tiba-tiba dia membuang kayu yang baru dia ambil. Dia memegang samurai di tangannya kuat-kuat. Kemudian mulai melangkah. Entah kemana dia. Tak seorangpun yang tahu. Berbulan-bulan setelah itu, ketika suasana sudah agak aman, orang-orang Situjuh Ladang Laweh, kampung Datuk Berbangsa, kembali pulang satu demi satu dari pengungsian mereka.
Mereka mendapatkan kuburan-kuburan yang tak beraturan korban pembantaian yang menyebabkan mereka lari mengungsi. Mereka menggali kembali kuburan-kuburan itu, dan meng-uburkan di pekuburan kaum. Mereka bertanya-tanya tatkala tidak menemukan mayat si Bungsu. Padahal beberapa orang di antara mereka melihat dengan jelas betapa anak muda celaka itu mampus dibabat samurai Kapten Saburo.
Tapi kemana mayatnya? Kalau mayatnya tak ada, siapa yang telah menguburkan mayat-mayat ini? Apakah dia tak mati, kemudian dialah yang menguburkan semua jenazah ini? Tak mungkin. Anak muda itu tak mungkin mau berbuat kebajikan apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja dia khianati. Bukankah sasaran rahasia itu ayahnya yang memimpin? Dan bukankah dia pula yang menjual rahasia itu pada Jepang hingga semua mereka tertangkap dan terbunuh? Tak mungkin dia yang menguburkan jenazah itu.
“Barangkali bangkainya memang tak dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang menguburkan ini mungkin tahu bahwa dia seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap ditinggalkan, lalu akhimya habis dimakan anjing atau harimau yang datang dari gunung sana . . ” seorang lelaki bicara.
Dan pendapat inilah yang paling banyak mempercayainya. Dan bagi orang kampung, anak muda itu memang lebih baik mati diterkan harimau daripada hidup membuat malu negeri. Anak muda itu dianggap sudah terkubur di perut binatang. Tak peduli anjing, harimau atau biawak. Dia lenyap seperti ditelan bumi dan tak seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali tentang yang buruk-buruk. Kehidupan kampung di pinggang gunung Sago yang terletak jauh dari kota Payakumbuh itu kembali seperti biasa.
Serdadu Jepang tak pernah lagi datang ke sana. Namun itu bukan berarti bahwa serdadu Jepang telah menghentikan kekejamannya di Minangkabau. Tidak! Kekejaman orang-orang bermata sipit dan bertubuh tambun dan pendek ini hampir merata dirasakan oleh penduduk di kota maupun pedesaan di pinggir kota yang ditempati oleh tentara Jepang. Situjuh Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-pejuangnya telah mati. Datuk Maruhun, kabarnya, mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.
@
I. Tikam Samurai