Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya daun kering di bawah di sekitar batu di mana kini dia duduk. Meski amat perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh telinga orang biasa, namun dengan latihannya selama belasan purnama dia dapat menebak ada sekitar selusin kaki di bawah batu sana. Ketika dia lebih memusatkan pendengarannya ke atas, dia tambah kaget. Ada dua makhluk berada di belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan! Manusiakah ?
Darahnya mengencang. Tangannya melemas.
“Siapakah yang ada di belakang?” Dia bertanya tanpa menoleh.
Tatapannya lurus ke depan dengan konsentrasi penuh. Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapapun yang ada dibelakangnya, pastilah tak berniat baik. Tangannya makin melemas dan terasa panas. Bulu tengkuknya makin merinding. Tiba-tiba dia merasakan ada angin menyambar! Dia tak segera mencabut samurainya. Namun dia berguling ke kanan. Gerakan itu dia pelajari dari tingkah dua ekor tupai yang berkelahi di cabang pohon di dekat batu pipih ini. Dia amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian dia berlatih meniru cara bergulingan menyelamatkan diri itu, menyelingi latihan samurainya.
Kini jurus berguling itu dia lakukan. Dia selamat dari terpaan makhluk itu. Kemudian dia duduk berlutut. Namun sebelum dia lihat siapa yang menyerang, kembali makhluk itu menyerangnya secepat kilat. Dia kembali mempergunakan gerak tupai itu. Bergulung dua kali ke kanan dan melambung tegak. Dan kini makhluk yang menyerang itu tegak empat depa di depannya.
“Ya Allah!!”
Dia terpekik dan surut dua langkah. Hampir saja dia terperosok jatuh dari atas batu. Makhluk itu! Ya Tuhan, belum pernah dia melihat makhluk sedahsyat ini. Dalam sinar senja yang masih terang-terang tanah, dia lihat dua makhluk yang luar biasa bentuknya.
“Harimau jadi-jadian!!” dia berbisik sendiri.
Tanpa dapat dia kuasai, tangannya gemetar. Ya, di hadapannya, kini berdiri dua harimau jadi-jadian. Kepalanya mirip kepala harimau. Tubuhnya berbulu mirip harimau. Namun dia tak berdiri di keempat kakinya. Mahluk ini berdiri di atas dua kaki seperti manusia. Tangannya yang berbulu mirip tangan manusia. Demikian pula kakinya. Bulunya berbelang seperti harimau. Matanya merah berkilat. Kuku kaki dan kuku tangannya kelihatan menyembul runcing mengerikan. Makhluk ini kelihatan dahsyat di mata si Bungsu. Dia tak dapat menahan gigilan tubuhnya.
Sewaktu kecil di kampung dahulu, dia memang sering mendengar cerita tentang harimau jadi-jadian. Cindaku kata orang-orang tua. Namun sejak dia dewasa, cerita itu tak pemah lagi dia dengar. Kalaupun ada, maka cerita itu hanya dimaksudkan sebagai menakuti anak-anak. Siapa menyangka, hari ini dia menyaksikan apa yang dianggap orang kampung itu sebagai dongeng, ternyata benar-benar ada. Dongeng itu bukan sekedar isapan jempol. Senja ini dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dia melirik ke kanan. Jauh di bawah sana, dia lihat kampungnya. Di kampungnya dahulu kabarnya ada orang yang mati dibunuh Cindaku. Di kampung lain juga pernah ada orang yang di teror Cindaku. Apakah ini Cindaku yang meneror orang di kampung di bawah sana?
Kalau dilihat jarak antara gunung dengan kampung di bawah, nampaknya memang inilah Cindaku itu. Tapi dia tak tahu berapa jumlah mereka. Dan dia segera ingat pada suara kaki di bawah sekitar batu tadi. Dia segera menoleh. Dan kembali dia menyebut nama Tuhan beberapa kali. Dia melangkah ke depan tiga langkah. Si Bungsu benar-benar dicoba iman dan jiwanya. Di bawah dia lihat tak kurang dari enam ekor harimau! Duduk di kaki belakang dan menegakkan kaki depannya. Keenam harimau itu mengelilingi batu pipih di mana dia berada. Dia yakin, jumlahnya pasti lebih dari enam ekor. Sebab tadi dia dengar di sekitar batu itu langkah-langkah yang halus. Inilah rupanya.
Dia kembali menoleh pada Cindaku itu. Keduanya kini mengangkat tangan. Dia tak mengerti kenapa harimau-harimau itu berada di bawah. Seperti menonton ke atas. Apakah harimau-harimau itu adalah bawahan Cindaku ini? Hatinya benar-benar terguncang. Dia tak sempat berpikir banyak. Cindaku yang paling besar menyerang dengan satu loncatan. Seharusnya dia segera mempergunakan samurainya. Namun terlambat! Kehebatan peristiwa ini membuat reflek yang telah dia latih jadi kacau. Dia hanya mampu menunduk. Dan itu menyebabkan punggungnya dirobek kuku Cindaku. Dia terpental. Di bawah sana dia dengar geraman harimau. Nampaknya harimau-harimau itu menunggu dirinya dilemparkan ke bawah.
Ketika dia terguling, Cindaku yang lebih kecil menyerang. Loncat tupai! Dia segera menggunakan ilmu loncat tupai itu kembali. Berguling tiga kali ke kanan, kemudian tiga kali ke kiri. Dua terkeman Cindaku itu berhasil dia elakkan. Kemudian meloncat berdiri! Luka di punggungnya pedih sekali. Di punggungnya. Tanpa sengaja dia meraba luka itu. Tiba-tiba dia sadar, luka itu persis di tentang luka yang ditimbulkan oleh tebasan Samurai Kapten Saburo Matsuyama dua belas purnama yang lalu. Persis melintang miring dari belikat kanan ke rusuk kiri! Ingatannya kembali ke masa lalu. Kesaat ayah dan ibunya dibabat samurai. Di saat kakaknya diperkosa dan dibabat samurai. Di saat dia juga dibabat samurai!
Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang tak terperikan tergambar pada wajahnya. Saat itu Cindaku yang kecil menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten Saburo yang membunuh keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik sarungnya. Amat cepat.
@
I. Tikam Samurai