Seorang Kapten yang memimpin pengepungan itu, bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan. Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat. Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda lelaki dan perempuan. Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang kampung itu.
“Ini sebuah contoh dan peringatan bagi orang-orang yang coba melawan balatentara Kaisar dari Negeri Matahari Terbit. Jika setelah ini ada seorang serdadu Jepang mati oleh penduduk pribumi, maka akan dibalas dengan membunuh tiga orang penduduk pribumi. Jika tak ada lelaki, maka perempuan yang akan dibunuh. Jika tak ada, anak-anak kami jadikan gantinya. Ingat itu baik-baik. Kalau di antara kalian ada yang mata-mata, sampaikan ucapan saya ini pada orang orang yang menyusun kekuatan untuk melawan kami, yang kini bersembunyi entah di mana. . .”
Keempat lelaki itu disuruh berjongkok. Perempuan dan anak-anak mulai bertangisan. Dan dengan suatu komando, empat orang serdadu Jepang segera berdiri di belakang keempat lelaki itu. Di tangan keempat serdadu itu tergenggam sebuah Samurai. Sebuah komando dalam bahasa Jepang terdengar bergema. Dan dalam sekejap, keempat kepala lelaki itu terpisah dari tubuhnya. Beberapa perempuan jatuh terjerembab ke tanah menyaksikan kebuasan ini. Beberapa anak-anak memekik-mekik.
Tiba-tiba seorang serdadu datang berlari dan berbisik ke telinga Kapten Saburo. Kapten itu tertegak dan melihat ke Utara. Dia lalu memerintahkan penduduk bubar dan memberi aba-aba pada pasukannya. Sekitar tiga puluh serdadu segera berhamburan ke Utara. Dalam sekejap mereka kini telah mengepung sebuah rumah. Rumah itu adalah sebuah rumah adat yang besar, rumah si Bungsu! Saburo segera tampil ke halaman rumah yang telah dikepung ketat itu. Dia menghadap ke atas anjungan.
“Kalian telah terkepung. Keluarlah!. Kalau kalian tak keluar dalam lima menit, saya akan membakar rumah ini. . !!” seru Komandan tentara Jepang itu.
Beberapa penduduk memberanikan diri melihat kejadian itu dari kejauhan. Mereka tidak mengerti siapa yang disuruh keluar oleh Jepang itu. Sebab setahu mereka Datuk Berbangsa sudah lari subuh tadi bersama anak isterinya. Sementara itu, si Bungsu yang tadi tegak di antara penduduk, kini menyeruak ke depan di antara barisan penduduk yang melihat dari kejauhan itu.
Wajahnya yang biasa murung kini jadi pucat. Dia menatap ke rumahnya dengan tegang. Dan benar, tak lama kemudian kelihatan ayahnya, Datuk Berbangsa, muncul di pintu! Menyusul ibu dan kakaknya.Melihat ayah, ibu dan kakaknya itu, si Bungsu berlari ke depan.
“Ibu…. !!” himbaunya.
Tapi seorang serdadu Jepang menghantamnya. Dia tersungkur di tanah. Ayah, Ibu dan kakaknya tertegun. Mereka mamandang padanya dengan tatapan tak berkedip. Ada jarak dua puluh depa antara dia tertelungkup dengan ayah dan ibu serta kakaknya. Namun dia serasa dapat merasakan panasnya tatapan mata keluarganya. Terutama sekali tatapan ayahnya.
“Engkau memang dilahirkan untuk menjadi dajal, buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau! Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami dan kau jual?” suara ayahnya terdengar bergema tajam.
Si Bungsu tertegak kaku. Bulu tengkuknya merinding mendengar ucapan ayahnya itu. Mulutnya bergerak ingin bicara. Namun tak satupun suara yang keluar dari mulutnya. Dia menatap ayahnya. Menatap ibunya. Menatap kakaknya. Akhirnya dia menatap pada ibunya. Perempuan itu tegak dengan gagah. Menatap padanya dengan kepala tegak.
“Bungsu, barangkali banyak dosamu. Tapi Ibu tak menyesal melahirkanmu.. . Nak!” Si Bungsu merasakan dirinya tiba-tiba jadi luluh. Dia seperti dapat melihat air mata ibunya meleleh. Demikian juga air mata kakaknya. Dirinya tiba-tiba jadi kecil di hadapan keluarganya yang gagah perkasa ini. Dan tiba-tiba dia jatuh berlutut. Saat itu Datuk Berbangsa bersuara, ucapannya ditujukan kepada Kapten Saburo.
“Saya bersedia ditangkap. Tapi isteri dan anak saya, harap dibebaskan. . .”
“Heh, setelah kau bunuh sembilan orang serdadu kami, kau minta keluargamu dibebaskan he? Bagero!”
“Kalau tak ada jaminan itu, saya takkan menyerah!” Datuk Berbangsa berkata dengan suara yang pasti.
Saburo mengagumi sikap jantan lelaki itu. Namun dia tertawa terbahak.
“He…he….ha! Apa yang kau banggakan, sehingga kau berani mengatakan bahwa kau bisa tak menyerah Datuk”.
“Saya akan berkelahi sampai mati!”
“Siapa yang kau sangka bersedia mati konyol bersamamu?”
“Jangan lupa, Anda seorang Samurai. Saya tahu, seorang Samurai sejati takkan menampik tantangan berkelahi dari orang lain!”
Saburo terdiam. Matanya menatap tajam pada Datuk itu.
“Atau barangkali serdadu Jepang yang datang kemari adalah Samurai-samurai pengecut yang mengabaikan sikap satria sebagaimana layaknya Samurai sejati?”
@
I. Tikam Samurai