Tikam Samurai - 10

“Diam kau! Jangan sembarang berkata. Tidak ada di antara kami yang tidak berjiwa Samurai. Kau takkan pernah saya bebaskan. Kalaupun kau memilih bertarung dengan salah seorang samurai, kau juga tetap takkan bisa memenangkan perkelahian. Tak ada di antara kalian yang akan mampu mengalahkan ilmu Samurai kami. Ilmu silat kalian masih terlalu rendah untuk berhadapan dengan kecepatan Samurai . . “
“Kebenarannya akan kita buktikan sebentar lagi!” Datuk Berbangsa menjawab dengan tenang dan pasti.
Saburo yang berang segera memberi perintah. Enam orang serdadunya segera meletakkan bedil panjang mereka. Kemudian membentuk lingkaran besar di halaman rumah gadang tersebut. Datuk Berbangsa yang terkenal sebagai Guru Silat Kumango itu melangkah dengan pasti ke tengah lingkaran. Dia tak bicara sepatahpun pada isteri dan anak gadisnya.
Nampaknya mereka sudah bicara saat bersembunyi di loteng. Datuk ini memang seorang yang bernasib malang dalam pelariannya. Tengah malam tadi dia sampai kemari bersama Datuk Maruhun dan teman-temannya. Mereka menyudahi nyawa kelima serdadu Jepang yang berpos di surau. Kemudian dia mengatur pengungsian keluarga-keluarga pelarian dari penjara itu. Ada sepuluh keluarga yang harus diungsikan keluar kampung ini. Kalau mereka tidak diungsikan, mereka pasti ditangkap dan disiksa. Tanpa mereka sadari, ketika pengungsian itu selesai, hari telah hampir siang. Orang terakhir yang meninggalkan kampung itu adalah Datuk Maruhun dan keluarganya.
“Duluanlah. Saya menyusul . .” ujar Datuk Berbangsa kepada Datuk Maruhun.
Dia tak dapat segera melarikan diri bersama Datuk Maruhun disebabkan isterinya sakit. Dia telah diminta oleh isterinya untuk lari duluan bersama anak gadisnya. Namun Datuk Berbangsa menolak. Mana mau dia meninggalkan isterinya. Dan anak gadisnya juga tak mau meninggalkan ibunya. Padahal si Ibu tak begitu parah sakitnya. Perempuan ini sebenarnya tak mau pergi dari kampung itu karena dia masih menunggu seorang anak lagi, si Bungsu!. Dia tahu suaminya tak menyukai si Bungsu.
Tapi dia seorang Ibu. Bagaimana dia bisa membenci anak yang dia lahirkan, yang dia kandung selama sembilan bulan, yang dia susui dari kecil, yang dia besarkan dengan air mata dan keringat? Dia mengakui anaknya yang seorang itu tak bisa dididik. Tapi bagaimana seorang Ibu akan membenci anaknya?. Demikianlah hati seorang Ibu. Jika sangat terpaksa, sekali lagi ”jika sangat terpaksa”, dia lebih rela kehilangan suami dari pada kehilangan anaknya.
Karena hari telah siang, untuk melarikan diri tak mungkin lagi. Mereka khawatir akan bertemu dengan patroli Jepang. Mereka lalu memutuskan untuk bersembunyi di loteng rumah. Bersembunyi dan menanti malam berikutnya datang. Sementara itu, si Ibu tetap berharap, agar siang ini si Bungsu pulang. Dia akan  membujuk suaminya untuk membawa serta anaknya itu mengungsi. Namun nasib mereka memang sedang malang. Persembunyian mereka diketahui oleh serdadu yang tadi memeriksa rumah itu.
Serdadu itu melihat tangga naik ke loteng. Tangga itu rupanya tak ada yang membuang. Sebab semua sudah naik ke loteng. Siapa lagi yang akan membuang tangga? Waktu sudah kasip. Jepang sudah memasuki kampung.  Maka mereka tetap bertahan di loteng itu sambil berdoa. Perkelahian seperti yang akan dihadapi Datuk Berbangsa ini juga sudah diperhitungkan tatkala tadi mereka disuruh turun oleh Saburo. Dari pada mati di Logas atau mati ditembak di penjara, lebih baik mati secara satria dalam perlawanan. Begitu mereka putuskan. Dan kini, Datuk itu tegak di tengah lingkaran tersebut. Tegak dengan dada busung dan tangan terkepal. Kapten Saburo memberi isyarat. Seorang Jepang berpangkat sersan maju. Tubuhnya besar berdegap. Di pinggangnya terdapat sebuah Samurai.
“Kau boleh memilih senjata Datuk …,” kata Saburo.
“Terima kasih. Saya dilahirkan oleh Tuhan lengkap dengan bekal untuk melawan kekerasan dengan tulang yang delapan kerat” suara Datuk itu terdengar perlahan.
Si Bungsu menegakkan kepalanya. Menatap tak berkedip pada ayahnya yang tegak berhadapan dengan serdadu Jepang itu. Serdadu itu memberi hormat dengan membungkukkan badan sebagaimana layaknya orang-orang Jepang menghormat.  Datuk Berbangsa tegak dengan dua kaki dirapatkan.
Tatapannya lurus ke depan. Dia berdoa dengan kedua tangannya menampung ke atas. Kemudian tangan kanan meraba dahi, dan tangan kiri meraba dada di tentang jantung. Setelah itu memberi hormat dengan tegak lurus dan kedua telapak tangan dirapatkan di depan wajah. Dia memberi hormat dengan cara penghormatan Silat Tuo Pariangan. Yaitu silat induk yang menjadi ibu dari silat-silat yang ada di Minangkabau.
“Engkau boleh menyerang duluan Datuk……,” Saburo berkata.
Datuk Berbangsa tetap tegak dengan tubuh condong sedikit ke depan. Matanya melirik ke tangan kanan Jepang besar di hadapannya. Semua orang pada terdiam. Tak terkecuali Kapten Saburo sendiri. Ada sesuatu yang membuat Kapten ini iri pada Datuk itu. Yaitu keyakinan pada kemampuan dirinya. Dia sudah banyak menyaksikan kehebatan penduduk pribumi di Indonesia ini. Namun jarang yang punya keyakinan atas dirinya seperti Datuk ini. Biasanya sesudah tertangkap, orang lalu berhiba-hiba minta ampun. Jika perlu dengan membuka semua rahasia atau menjual harga dirinya. Tapi tak demikian halnya dengan Datuk ini. Dia menantang berkelahi bukan karena dia kalap dan nekad. Tapi karena dia memang seorang satria sejati.



@



Tikam Samurai - 10