Dalam waktu hanya beberapa detik, keduanya rubuh dimakan samurai “mayat” yang akan mereka angkat.
“Mayat” yang satu lagi, yang ternyata adalah si Bilal, anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina itu juga beraksi.
Dia adalah seorang pesilat aliran Pengian yang tangguh. Begitu dia merasakan tangan menjamah tubuhnya, dia segera menelentang. Dan kakinya menghujam keatas. Tumitnya mendarat persis di kerampang sergeant yang tadi akan mengangkatnya.
Demikian kuatnya tendangan itu. Hingga tubuh sergaent itu terangkat sehasta dari tempatnya berpijak. Kemudian terguling. Sergeant ini tak sempat menjerit. Hanya wajahnya yang menjadi kelabu tiba-tiba. Gelandutnya pecah dan nyawanya melayang saat itu.
Saat berikutnya, tubuh Bilal ini melentik dengan manis lalu berdiri. Dan tendangannya kemudian menghajar seorang soldaat teman si sergeant yang berniat mengangkat tubuhnya tadi.
Tendangan itu agak meleset. Sebab si soldaat sempat mundur selangkah.
Bilal memburu. Dan kali ini dua buah jari tangan kanannya meluncur kedepan seperti kecepatan seekor ular yang marah.
Dan soldaat itu tak sempat mengelak lagi. Jurus tusukan dari silat Pangian itu menghujam kedua matanya. Dan seiring dengan pekik kesakitan, kedua matanya terlompat keluar dimakan jari-jari Bilal.
Perkelahian dibahagian si Bilal ini berakhir beberapa detik setelah perkelahian dipihak si Bungsu berakhir. Sebenarnya tak dapat disebut perkelahian. Sebab dalam suatu perkelahian senantiasa ada lawan ada yang melawan.
Sedangkan dalam peristiwa di pendakian Pasir Putih ini keempat Belanda itu tak ada yang melawan. Katakanlah, mereka sebenarnya tak punya kesempatan untuk melawan sedikitpun. Kejadian ini tak pernah mereka duga. Terlalu cepat kejadiannya bagi mereka.
Mereka semua menyangka yang mati tergolek di pendakian itu adalah serdadu KNIL yang tadi ikut dengan jeep itu mengantarkan dua perempuan yang telah mereka kerjakan di Perhentian Marpuyan. Tak tahunya dibalik pakaian loreng itu ternyata tubuh para ekstremis. Tubuh kaum perusuh dan pemberontak, menurut istilah mereka.
Dan inilah jebatan yang diatur oleh si Bungsu itu. Yaitu jebakan yang tak mempergunakan peluru sebagai pengganti jebakan yang direncanakan oleh Bilal yang akan mencegat Belanda di pendakian ini dengan menghajar mereka memakai senjata 12,7.
Si Bungsu menerangkan rencananya itu sambil membukai pakaian KNIL yang tergolek di bak belakang jeep. Kemudian memakainya. Pejuang-pejuang Indonesia lainnya jadi mengerti. Dan yang berminat ikut bersama si Bungsu untuk pura-pura jadi mayat adalah Bilal.
Dia disebut dengan panggilan Bilal adalah karena sehari-harinya di Buluh Cina tugasnya adalah memang jadi Muazin dan imam di Mesjid.
Nama aslinya jarang orang yang tahu. Sebab sejak kecil, sejak pandai mengaji, dia telah jadi muazin dikampungnya. Dan nama Bilal melekat pada dirinya.
Dia memang pesilat yang tangguh. Di Buluh Cina ada puluhan muridnya yang menjadi pendekar yang disegani orang. Dan si Bungsu menyetujui pendakian Pasir Putih itu sebagai tempat memasang jebakan.
Pendakian itu cukup tinggi. Di bawahnya mereka melalui sebuah sungai dangkal yang melintang di jalan. Dasar sungai itu berpasir sangat putih dan airnya sangat jernih. Dikiri kanannya terdapat tebing yang berhutan dan bersemak lebat.
“Kita turun disini, dan antarkan jeep ini kebalik pendakian” si Bungsu berkata sambil melompat turun. Bilal dan kedua pejuang lainnya juga menghambur turun. Jeep itu terus ke puncak pendakian. Kemudian lenyap dari pandangan.
Tak lama kemudian sopirnya muncul. Si Bungsu dengan cepat menyuruh pejuang itu bersembunyi ditebing kiri dan kanan tebing tersebut.
“Engkau menunggu di jeep….” Dia berkata pada Suman. Suman jadi kaget.
“Kenapa harus disana?”
“Rencana ini belum tentu berhasil seluruhnya. Kalau kami gagal, maka engkau menjadi harapan terakhir untuk menyudahi mereka dengan mitraliyur itu..”
“Tapi,,,”
“Mereka bukan orang bodoh Suman. Mungkin saja kami segera mereka kenali. Nah, kalau hal itu terjadi, maka kami akan jadi korban sia-sia. Kalau mereka mengenali kami dan mereka justru tak berhenti, mereka tentu akan melindas tubuh kami dengan truk itu.
Yang bersembunyi ditebing itu takkan ada artinya. Nah, bila hal ini terjhadi. Maka komado kami serahkan padamu. Bila truk itu ternyata sampai ke puncak pendakian itu berarti aku dan Bilal sudah jadi mayat dilindasnya. Engkau sambut mereka dengan mitraliyurmu….”
Suman dan yanglainnya segera jadi mengerti. Tanpa banyak tanya lagi Suman yang sama-sama datang dari Pekanbaru itu segera berlari ke jeep dibalik pendakian itu.
@
I. Tikam Samurai