Namun ternyata Belanda-Belanda itu memakan umpan yang dipasang si Bungsu. Mereka berhenti dan berniat mengangkat “mayat” teman-temannya. Dan disitulah kesahalan mereka.
Begitu keempat serdadu Belanda itu selesai dalam waktu yang tak sampai sepuluh hitungan, dari tebing yang berhutan dipinggir truk melompat kedua pejuang lainnya ke atas truk.
Dan sebelum para Belanda itu menyadari apa yang terjadi, mereka telah dimakan oleh tikaman pejuang-pejuang itu. Bilal sendiri segera melompat ke atas truk tersebut dan kaki serta tangannya bekerja pula.
Akan halanya si Bungsu segera berhadapan dengan Leutenant yang memimpin patroli itu. Leutenant itu bukan main marahnya mendapatkan kenyataan tersebut.
Dia mencabut pistolnya. Si Bungsu masih membiarkan. Samurainya yang berdarah sudah disisipkan kedalam sarungnya. Dan kini samurai itu dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung lemas.
Pistol Leutenat itu keluar dari sarungnya. Kemudian terangkat tinggi. Si Bungsu masih membiarkan. Jarak tegak mereka hanya dua depa.
Leutenat itu berteriak:
“Godverdoom! Kubunuh kowe monyeeeet!!” dan telunjuknya menarik pelatuk pistol tersebut. Dan saat itulah si Bungsu bergerak. Tangan kanannya yang tergantung lemas bergerak seperti kilat. Mencabut samurai dan melangkah selangkah ke depan.
Kemudian samurainya menyilang dari kiri atas ke kenan bawah. Yang dia babat pertama adalah tangan kanan leutenat yang memegang pistol itu. Sedetik sebelum pistol meledak, tangan leutenant itu putus hingga sikunya.
Leutenant itu belum sempat memekik, sabetan samurai yang kedua menyusul pula. Membabat dadanya dari kiri mendatar ke kanan. Dadanya belah persis dipertengahan kantong. Ada beberapa lembar uang dan beberapa lembar foto cabul dalam kedua kantong baju leutenant itu dan semuanya terpotong dua bersama dadanya.
Dan leutenant itu memang tak pernah sempat menjerit diakhir hayatnya ini. Demikian cepatnya samurai si Bungsu.
Akan halnya di atas truk itu, perkelahian lebih banyak menguntungkan pihak pejuang.
Mereka memang pesilat-pesilat yang telah masak seperti halnya Bilal. Maka perkelahian dalam truk dengan jarak dekat itu memang merupakan makanan empuk bagi mereka. Sementara dipihak Belanda yang umumnya hanya mahir mempergunakan bedil panjang, dihadapkan pada situasi yang hampir-hampir bergumul ini jadi kalang kabut.
Maka tak heran beberapa orang lalu berusaha untuk terjun ke bawah agar bisa memanfaatkan bedil di tangan mereka.
Dan yang punya kesempatan untuk berbuat itu hanya Kopral yang jadi sopir.
Semula dia ingin terjun ke bawah dan naik ke bak belakang ikut dalam perkelahian itu. Tetapi otaknya memang cerdas. Dari pada susah-susah turun, bukankah lebih baik menembak dari sini, pikirnya.
Power wagon yang dipergunakan itu adalah truk perang yang terbuka. Di bahagian belakang ada kursi kayu yang dipakukan pada dinding kiri kanannya. Pada kursi kayu yang dicat hitam inilah Belanda itu duduk berbaris.
Sopir itu mengambiol stegunnya. Kemudian tegak ditempat duduk. Dan suatu saat stegunnya menyalak. Yang jadi korban adalah pejuang dari Marpuyan yang menyopiri jeep Belanda tersebut. Tengkuk dan kepalanya dimakan empat peluru.
Kontan tubhnya tercampak ke bawah. Kemudian suara stennya berhenti. Dia menanti kesempatan lain untuk bisa menembak. Sebab dalam truk itu tengah terjadi pergumulan. Salah-salah dia bisa membunuh teman sendiri.
Kini Bilal tegak membelakanginya tanpa ada penghalang. Stegunnya terangkat.
Saat itu pula perkelahian antara si Bungsu dengan Leutenant itu berakhir. Dia mendengar suara stengun yang tadi menyudahi nyawa pejuang dari Marpuyan yang jadi sopir tadi.
Si Bungsu berbalik. Dan melihat sopir berpangkat itu membidikkan stennya. Dalam waktu yang sangat singkat, perkelahian dengan serdadu Jepang membayang dikepalanya.
Betapa suatu subuh dia dan Datuk Penghulu mencegat truk berisi tentara Jepang setelah kematian istri dan anak Datuk Penghulu. Keadaannya persis seperti sekarang.
Saat itu seorang perwira tengah membidikkan pistolnya dari tempat duduk depan ke arah tengkuk Datuk Penghulu yang berada di depan truk berkelahi dengan tentara Jepang.
Si Bungsu waktu itu berada dibelakang truk. Dan untuk menolong Datuk Penghulu, samurainya dia lemparkan dengan perhitungan yang cermat.
Samurai itu meluncur, menembus kaca pemisah antara ruang belakang dengan ruang depan truk. Kemudian menancap ditengkuk perwira Jepang itu.
Dan kini, di pendakian Pasir Putih menjelang Buluh Cina ini, tindakan itu pula lah yang diambil si Bungsu. Bedanya yang dulu dan yang sekarang adalah dalam soal letak. Dulu lawannya Jepang. Kini Belanda!
Dahulu dia berada di belakang. Kini di depan. Dahulu dia harus melemparkan samurainya dengan tenaga ganda. Sebab harus menembus kaca tebal pemisah ruang belakang dengan ruang depan. Kini hal itu tak perlu.
@
I. Tikam Samurai