Tikam Samurai - 180

“Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya.
“Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan. Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah.
Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu.
“Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mereka anggota Jakuza….” Suara Kenji terdengar lemah memperingatkan. Namun peringatannya sudah terlambat. Karena saat itu anggota Jakuza itu telah menghayunkan samurainya membabat perut si Bungsu.
Anggota Jakuza adalah bandit-bandit yang mahir dalam beladiri. Karate, Judo dan Aikido mereka kuasai dengan baik. Hanya saja tadi mereka dilumpuhkan oleh Kenji karena tingkatan kemahiran Kenji jauh lebih di atas mereka.
Tapi selain beladiri tangan kosong, mereka juga menguasai dengan sangat baik teknik samurai!
Dan samurai adalah sesuatu yang tak dipahami oleh Kenji. Dan kini anggota Jakuza itu tengah memancungkan samurai pendeknya ke perut si Bungsu.
Namun seperti kecepatan cahaya, selarik sinar putih panjang memintas gerak smurai pendek itu. Gerak samurai Jakuza itu terhenti. Ada rasa perih yang melumpuhkan terasa. Dan dengan terkejut bercampur heran dia menatap dadanya berdarah. Memandang ke kiri ke kenan.
Dan dia berusaha melanjutkan gerak samurainya. Bukankah dia termasuk seorang yang mahir dalam samurai? Tapi kembali sinar putih yang amat cepat itu memintas. Dan kini tangannya yang memegang samurai itu putus.
Potongan itu jatuh ke lantai berikut samurai pendeknya. Kepala Jepang itu berpaling heran dan takjub.
“Saya adalah malaikat maut….” Si Bungsu mengulangi kata-katanya tadi. Dan seiring dengan itu samurainya bekerja lagi. Kepala anggota Jakuza itu terdongak ke belakang. Lehernya hampir putus! Dia rubuh dan mati dengan darah menyembur-nyembur dari leher dan tangan serta dadanya.
Anggota Jakuza yang seorang lagi, termasuk Kenji, ternganga melihat kejadian itu. Benar-benar takjub dan kaget.
Perlahan si Bungsu memalingkan tegak menghadap pada anggota Jakuza yang gemuk pendek itu. Anggota Jakuza itu sudah hancur mentalnya. Dia menggigil. Dia memang pintar memainkan samurai. Tapi melihat lelaki asing ini mempergunakan samurainya, dia merasa beraknya hampir keluar.
“Ini bukan orang, ini syetan. Hanya syetan yang bisa mempergunakan samurai secepat itu…” hati lelaki itu berbisik kecu.
“Engkau saya ampuni. Dan sampaikan pada pimpinanmu, disini Kenji-san dan saya si Bungsu dari Gunung Sago Indonesia, menanti kalian. Datanglah, dan akan kami nanti dengan samurai ditangan. Sebagai bukti bahwa kami menantang Jakuza yang telah menodai Hannako, bawa pesan berdarah ini…!!
Seiring ucapannya, samurai keluar lagi dalam kecepatan kilat. Dan sebelum Kenji atau lelaki Jakuza itu tahu apa yang dimaksud oleh si Bungsu dengan “Pesan Berdarah” itu, anggota Jakuza itu terlolong. Tangan kananya putus hingga bahu!
Darah menyembur-nyembur dari bahu yang putus itu. Namun lelaki itu tak berani bergerak. Sebab ujung samurai si Bungsu melekat di lehernya.
“Katakan pada pimpinanmu, atau siapa saja di antara anggota Jakuza jahanam itu, jika mereka berani mengganggu Hannako, Kenji atau adik-adiknya, mereka akan menerima nasib seperti temanmu ini. Kini tinggalkan tempat ini segera!”
Dan lelaki itu tak usah diperintah untuk kedua kalinya. Lepas saja dari “syetan samurai” itu sudah mujur baginya. Dia segera angkat kaki seribu. Persetan dengan dua bangkai temannya yang tergeletak dalam rumah itu.
Dan lelaki itu tak mau melapor ke rumah Kawabata. Bikin apa dia kesana. Kalau dia datang kesana, dia pasti disuruh menunjukkan rumah Hannako. Dan itu berarti harus berhadapan dengan anak muda dari Indonesia itu kembali.
Ai mak, berhadapan dengannya? Minta ampun.
Daripada berhadapan dengannya lebih baik bunuh diri pikirnya. Dan dengan pikiran begitu, dia lalu berlari ke rumah sakit.
Selesai mengobati tangannya yang pontong itu, dia naik kereta api. Pulang ke kampungnya di mudik sana. Persetan dengan Jakuza. Kalau mereka mau, biar berhadapan sendiri dengan anak muda itu, pikirnya. Dan selama perjalanan menuju kampung, lelaki gemuk pendek bekas bandit itu tak henti-hentinya mensyukuri nikmat Dewa yang telah memanjangkan umurnya.
Kalau anak muda itu silap sedikit saja, dan samurainya dihadapkan ke jantungnya, iiii!
Dan dia berniat untuk potong ayam sebagai tanda sukur bila sampai ke kampungnya.
Isteri dan anak-anak serta mertuanya pasti akan kaget dan menangis melihat tangannya putus.



@



Tikam Samurai - 180