Tikam Samurai - 186

Tokugawa sampai berdiri mendengar ucapan anak muda ini. Yang lain juga pada tegak segera. Suara kursi bergeser terdengar bising sejenak. Mereka semua memakai kimono pelindung udara dingin.
Kini mereka membuat setengah lingkaran. Di ujung lingkaran yang setengah itu, tegak si Bungsu!
“Perhitungan bagaimana yang maksud akan kau buat dengan Kawabata?” Suara Tokugawa terdengar berat dan mengandung amarah.
Si Bungsu tahu gelagat itu. Dia kini berada di sarang Harimau. Namun dia datang sendiri. Kalaupun dia mati, maka takkan ada seorang pun yang akan menangisinya di Minangkabau sana. Tak seorangpun!
“Maaf, bolehkah saya tahu siapa tuan?” suara si Bungsu tetap tenang. Tangan kirinya memegang samurai dengan kukuh. Sementara tangan kanannya lemas tergantung. Seperti tak bertenaga. Namun Tokugawa arif bahwa tangan kanan anak muda ini siap menyebar maut, setiap detik.
Dia arif benar akan hal itu. Dan dia segera dapat mengetahui bahwa anak muda ini adalah seorang samurai yang otodidak. Seorang yang mahir karena belajar sendiri. Diam-diam dia merasa bangga. Bangga bahwa ada anak muda asing yang mahir mempergunakan samurai. Senjata kebanggan sukunya. Suku Tokugawa yang masyur turun temurun.
“Nama saya Tokugawa. Saya pimpinan bandit yang tak berperikemanusiaan, Jakuza, untuk daerah Tokyo dan sekitarnya….” Tokugawa memperkenalkan diri sambil mengulangi ucapan si Bungsu tadi.
Si Bungsu membungkuk memberi hormat. Dan tanpa merasa rendah diri Tokugawa juga membungkuk dalam-dalam membalas penghormatan itu. Ke 20 anggota Jakuza disana menjadi heran bercampur kaget melihat sikap pimpinan mereka ini. Bahkan Gubernur atau Walikota sendiri tak pernah dia hormati seperti itu.
“Tokugawa..”
“Ya, saya Tokugawa. Kau pernah mendengar nama itu?”
“Maaf, saya banyak mendengar nama Tokugawa. Tapi yang saya dengar hanya tentang yang baik-baik saja. Tokugawa yang saya dengar adalah turunan pahlawan sejati. Turunan samurai yang tak ada duanya si seluruh Jepang. Tak pernah saya dengar seorang Tokugawa yang kepala bandit”
Ke 20 Jakuza lainnya jadi menciut saking takutnya akan murka yang akan menyembur dari Tokugawa. Anak muda ini benar-benar mencari penyakit, pikir mereka.
Tapi lagi-lagi mereka melihat suatu keanehan. Tokugawa bukannya murka. Malah tegak dengan diam dan menatap dengan tepat-tepat pada si Bungsu.
“Terimakasih atas peringatanmu anak muda. Engkau membangkitkan kebanggan saya terhadap keluarga Tokugawa. Akan saya ingat ucapanmu itu”
Semua orang terdiam. Si Bungsu sendiri kaget. Tak dia sangka orang tua ini sabarnya begitu hebat.
“Nah, katakanlah, apa perhitungan yang akan kau buat dengan Kawabata…”
“Saya datang kemari untuk mengajukan dua hal. Pertama, hentikan mengganggu Hannako, Kenji dan adiknya. Kedua, kalau hal itu tak dapat dilakukan dengan baik-baik, saya mempertaruhkan jiwa saya agar Kawabata tidak menggangu gadis itu…”
Tokugawa diam. Kawabata diam. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza Tokyo itu diam. Tantangan anak muda ini benar-benar luar biasa. Luar biasa beraninya. Luar biasa hebatnya.
“Apakah engkau mencintai Hannako?” suara Tokugawa terdengar lagi. Semua orang saling diam menunggu jawaban anak muda itu…
“Tidak…saya hanya menyayanginya….”
“Engkau mempertaruhkan nyawa bagi orang yang tak kau cintai. Lalu apa sebenarnya alasan pengorbananmu>’
Si Bungsu menatap keliling. Menatap pada Tokugawa. Aneh, tiba-tiba dia merasa simpati pada orang tua gagah kepala rampok ini. Dan tiba-tiba dia teringat pada orang tuanya.
Tokugawa dan seluruh anggota Jakuza dalam ruangan itu jadi heran bercampur kaget takkala pipi anak muda itu basah oleh air mata.
“Saya datang kemari karena seluruh keluarga saya telah punah dibunuh. Tak usah saya katakan siapa yang membunuhnya. Saya merasa betapa pahitnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan tanpa saudar. Dan Kenji serta adik-adiknya juga akan mengalami nasib seperti saya kalau Jakuza tak berhenti mencelakai mereka. Saya pertaruhkan nyawa saya untuk mereka, agar mereka tak mengalami nasib malang seperti saya…”
Tokugawa merasa jantungnya seperti ditikam mendengar ucapan anak muda asing ini. Di negerinya ada orang asing yang mau mengorbankan dirinya demi membela anak-anak Jepang dari penindasan. Dia adalah kepala bandit yang terkenal kejam. Namun mendengar apa yang dikatakan anak muda dari Indonesia ini, hatinya jadi luluh.
“Bagaimana engkau akan memaksakan Kawabata agar tak mengganggu Hanako?”
“Saya memang tak punya kekuatan untuk memaksanya. Tapi sebagai seorang lelaki, saya menantangnya untuk bertarung memakai samurai..”



@



Tikam Samurai - 186