Tikam Samurai - 178

“Kau tahu Bungsu-san, kalau saya mau, waktu itu saya bisa menghancurkan kepalanya. Dengan sekali genjot tidak hanya giginya yang rontok, tapi nyawanya juga bisa rontok. Namun saya telah diajar di perguruan untuk tidak melakukan kekerasan begitu Bungsu-san. Percuma saya belajar dan membaca sumpah perguruan selama bertahun-tahun kalau saya tak bisa menguasai diri saya…”
“Tapi orang itu terlalu kurang ajar…”
“Ya. Dan apakah kekurang ajarannya itu harus saya pergunakan untuk menghancurkan dirinya? Orang memang menghendaki saya melakukan kekerasan. Tapi perguruan tak menghendaki demikian Bungsu-san…”
“Saya tak mengerti apa tujuan perguruanmu Kenji-san. Kalu untuk membela diri saja kepandaian yang kita miliki tak bisa digunakan saya rasa percuma saja belajar payah-payah..”
“Ya pendapatmu tak salah Bungsu-san. Bahkan diantara murid-murid Karate dan Judo sendiripun pendapat begitu cukup banyak terdapat. Tapi, percayalah ada hal-hal yang tak dapat saya tuturkan dengan kalimat. Betapa sumpah perguruan itu mengikat kami para senior. Ada hal-hal yang mendasar dan sangat hakiki, yang saya tak bisa mengutarakannya. Terkadang hal itu juga menyiksa saya. Saya toh manusia biasa juga bukan?
Sekali saat saya juga ingin menghantam lawan saya. Dan kalu itu sampai terjadi, lawan seperti yang di kapal itu, mungkin sekedar enam atau tujuh orang bisa saya libas semua. Namun hidup ini rupanya tidak hanya sekedar untuk memuaskan hati saja…ah, sudahlah Bungsu-san…”
Dan si Bungsu memang jengkel untuk memikirkannya. Kenji ternyata memiliki kepandaian yang tak tanggung-tanggung. Tapi kenapa dia tak mau membalas kekasaran yang ditujukan padanya?
Dan tadi dalam ujian kenaikan tingkat, jelas pukulannya bisa merobohkan lawannya, lalu kenapa dia tak dinyatakan lulus. Malah dinyatakan dihukum? Bah, dia jadi malas memikirkannya.
--o00---
Bandit-bandit Jakuza bawahan Kawabata akhirnya mendapat kesempatan yang elok untuk membawa Hannako kembali ke rumah Kawabata.
Kesempatan itu datang ketika di rumahnya tinggal Hannako sendiri. Hannako memang dilarang Kenji untuk sering keluar. Dia tahu bahwa Jakuza adalah bandit-bandit yang tak kenal kasihan.
Hari itu kedua adiknya yang lelaki sedang pergi sekolah. Kenji pergi latihan ke Budokan. Sementara si Bungsu telah lebih dahulu pergi ketempat yang tak dia sebutkan. Hannako tengah menyediakan makan tengah hari ketika pintu depan diketuk orang.
“Gomenkudasai…”(Assalamualaikum)
Hannako meletakkan piring, kemudian bergegas ke depan.
“Haai, Donata desu ka…”(ya, siapa?) katanya sambil membuka pintu.
Dan pintu itu didorong dengan kasar. Tiba-tiba saja tiga lelaki telah ada dalam rumah.
“Hmmm, Hanako. Kawabata mencarimu. Dia rindu sekali” salah seorang yang bertubuh gemuk bicara. Sementara matanya seperti akan menerkam tubuh Hannako. Hannako benar-benar kecut. Dia kenal tampang para lelaki ini.
“Jangan ganggu saya…” katanya sambil berusaha lari ke belakang.
Tapi seorang anggota Jakuza yang lain menghadangnya. Hannako sampai menubruk tubuh orang itu karena gugupnya. Dan orang itu memeluknya sambil tertawa menyeringai. Temannya yang dua lagi ikut tertawa.
Hannako meronta dan berhasil melepaskan diri.
“Ayo ikut kami baik-baik. Kawabata ingin bicara denganmu….”
“Jangan ganggu saya….” Hannako mulai menangis. Ketika anggota Jakuza itu saling pandang. Mata mereka seperti akan menjilati tubuh Hannako yang padat berisi. Kemudian mata mereka juga meneliti rumah itu.
“Hmmm, kalau kau tak mau pergi segera, kita boleh main-main dulu disini…”
Hannako kembali bermohon agar ketiga lelaki itu pergi. Dia khawatir kalau-kalau abangnya atau si Bungsu kembali. Dia tahu lelaki-lelaki ini adalah orang yang tak kenal belas kasihan.
Namun dia salah duga kalau menyangka ketiga lelaki itu akan pergi begitu saja.
Yang seorang lalu menangkap tangan Hannako. Kemudian menyeretnya ke kamar Kenji. Hannako berteriak-teriak.
Musim salju di Tokyo adalah musim yang sepi. Namun demikian, daerah Uchibori Dori dimana rumah mereka berada tetap saja daerah yang cukup ramai.
Ada orang-orang yang lalu lalang di jalan. Dan mereka mendengar teriakan Hannako. Tapi Tokyo saat itu adalah Tokyo yang depresi. Tokyo yang kalut setelah kalah perang.
Orang lebih suka mengurus diri sendiri daripada mengurus urusan orang lain. Itulah sebabnya kenapa tak seorangpun yang datang melihat apa yang terjadi dirumah itu.
Beberapa orang menolehkan kepala. Tapi cepat-cepat melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tak mau berurusan dengan Jakuza atau tentara Amerika. Bagi mereka, kedua badan itu sama saja menakutkannya.



@



Tikam Samurai - 178