Tikam Samurai - 205

Di bawah tempat duduknya dia letakkan ransel lusuhnya. Sementara samurainya dia simpan di balik baju tebalnya. Melekat ke dirinya. Dia merasa aman senjata itu di sana. Sewaktu-waktu bisa dia pergunakan.
Kerata api itu sebenarnya cukup baik. Tapi setelah perang dunia ke II semua angkutan memang jadi semrawut. Penumpang berjubel. Demikian juga dengan kereta api ini.
Meski dia duduk di gerbong kelas I tapi tak urung penumpang dari kelas dua dan kelas ekonomi nyelonong kesana.
Saat itu sudah mencapai kota kecil  Gamagori. Kota ini terletak di tepi teluk Atsumi. Perjalanan itu sudah jauh meninggalkan Tokyo.sudah melewati kota-kota Shizuoka dan Toyohashi. Kini kereta mereka akan menuju Nagoya. Sudah lebih separoh perjalanan.
Dua orang lelaki, berpakaian kimono hitam naik di stasiun Gamagori. Mereka naik di gerbong kelas dua. Terus menyelusur arah ke depan. Ke gerbong kelas satu.
Pintu gerbong kelas satu didorong. Kondektur yang berpakaian coklat tebal yang semula merasa berang ada orang masuk tanpa izin, begitu melihat siapa yang masuk cepat-cepat menghindar dari jalan dan membungkuk meberi hormat.
Kedua lelaki itu tak mengacuhkan hormat si kondektur. Mereka terus ke depan. Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Seperti ada yang mereka cari.matanya plarak-plirik ke kiri dan ke kanan.
Di gerbong nomor tiga dari depan, mereka berhenti. Seorang gadis cantik kelihatan duduk dekat jendela dengan diam. Satu bangku dengan gadis itu sebenarnya ada dua orang lagi. Seorang perempuan tua dan seorang lagi lelaki dewasa. Tapi saat itu kedua mereka sedang pergi ke WC.
Kedua lelaki itu saling pandang. Lalu tersenyum. Senyumnya lebih tepat dikatakan menyeringai.
“Maaf, tempat ini kosong bukan?” yang seorang bertubuh ceking tinggi seperti tengkorak hidupo berkata dengan suara mirip burung gagak.
Gadis itu terkejut. Menoleh. Dan dia lebih terkejut lagi melihat kedua lelaki bertambang seram itu. Sebelum dia sempat menjelaskan, kedua lelaki itu telah menghenyakkan pantatnya di sisinya.
Bau minuman sake segera tercium begitu mereka duduk.
“Tempat ini ada orangnya….” Gadis itu coba menjelaskan dengan ramah.
“Ya, kami orangnya bukan?” jawab yang pendek dengan suara seperti bebek, sambil tangannya melewati tubuh si jangkung kurus mencowel pipi gadis itu.
Gadis itu cepat mengelak dengan wajah berang. Dan kedua lelaki itu tertawa. Tawanya menyeramkan. Yang satu seperti burung gagak. Mengakak memperlihatkan gigi yang kuning. Yang satu mendesah-desah seperti suara bebek. Air ludahnya menyembur-nyembur.
Gadis itu segera bangkit akan pindah tempat. Meskipundia tahu semua tempat sudah penuh, tapi daripada berdekatan dengan kedua lelaki ini, lebih baik tegak sampai ke tujuan. Namun yang jangkung menarik tangannya. Menyentakkannya.
Gadis itu terhenyak duduk kepangkuannya. Dia menjerit. Kedua lelaki itu hanya tertawa. Para penumpang lain hanya melirik. Kemudian kembali seperti tak tahu menahu.
Mereka segara tahu, sikap demikian hanya dimiliki oleh penjahat-penjahat. Di daerah ini, ada dua kelompok penjahat yang berkuasa. Yaitu Jakuza dan Kumagaigumi (Beruang Gunung).
Keduanya sama-sama berbahaya untuk dicampuri urusannya. Karena itu, para penompang lebih suka berdiam diri. Dengan jahanamnya, tangan si kurus ini meremas dada gadis tersebut. Gadis itu terpekik.
Saat itulah kedua penompang yang duduk disebelah gadis itu muncul dari WC.
Melihat ada orang duduk di tempat mereka, yang lelaki, seorang pegawai kantor kota, berkata :” Maaf Bung, ini tempat saya dan ibu ini”
Kedua lelaki itu, yang tengah tertawa cekikina terhenti. Menatap pada lelaki tersebut.
“Apa bukti bahwa disini tempat saudara?” Si gemuk pendek balik bertanya. Lelaki itu mengeluarkan karcisnya. Perempuan itu juga. Si gemuk dan si jangkung mengambilnya. Melihatnya. Dan menyimpannya ke dalam jubahnya.
“Apa bukti bahwa disini tempat saudara?” si pendek gemuk mirip babi itu bertanya lagi.
Lelaki itu segera mengetahui bahwa orang ini mencari gara-gara. Karcis mereka kini  ada padanya. Dia tahu, kedua orang ini pastilah anggota bandit-bandit Jakuza atau Kumagaigumi.
Tapi harga dirinya sebagai seorang pegawai pamong, ditambah dengan tujuan yang masih jauh, maka dia tetap protes.
“Jangan main-main. Saudara bisa saya laporkan pada kondektur…” katanya. Kedua lelaki itu tertawa. Kondektur lewat. Lelaki itu menyampaikan persoalannya.
Namun Kondektur hanya menelan ludah. Wajahnya pucat. Kesempatan itu dipergunakan gadis tadi untuk berdiri. Menghindar dari dua lelaki yang memuakkan itu.
Dia sudah akan berhasil pergi, namun si gemuk pendek merenggutkan tangannya. Gadis itu kembali terpekik dan terjerembab ke lantai. Lelaki pegawai pamong itu berusaha menolakkan si gemuk. Namun si kurus menghajar perutnya dengan sebuah tendangan karate yang telak. Pegawai pamong itu terjajar.



@



Tikam Samurai - 205