Tikam Samurai - 207

“Bungsu-san terimakasih banyak atas budimu. Dua kali anda menolong saya….”
“Hei, bangku saya kebetulan kosong di depan sana. Hanya saya sendiri. Anda mau pindah ke sana?”
Wajah Michiko berseri. Dia mengangguk.
Si Bungsu juga tersenyum. Lalu menoleh pada ibu tua dan pegawai pamong yang duduk di sebelah Michiko.
“Saya harap ibu dan tuan senang duduk disini…” katanya perlahan.
“Terimakasih banyak nak… anda mahir berbahasa Jepang. Saya yakin anda bukan orang sini. Anda orang Malaya?” perempuan tua itu bicara.
“Tidak, Watashi wa Indonesia-jin desu…”
“Aa, Indonesia-jin desu….” Ulang perempuan itu. Dan Michiko juga baru tahu, bahwa pemuda yang menolongnya ini adalah orang Indonesia.
Perempuan itu mengucapkan terimakasih kembali. Demikian juga pegawai pamong yang perutnya kena schak oleh kaki si kurus jailangkung tadi.
Michiko yang ternyata berpergian sendirian lalu pindah ke tempat si Bungsu di depan. Si Bungsu membawakan tasnya.
Para penompang pada mengangguk memberi hormat ketika dia lewat di dekat mereka. Si Bungsu membalas mengangguk dan tersenyum. Para penompang saling berbisik.
Orang Indonesia. Bukankah itu adalah negeri yang dijajah oleh tentara kita enam tahun yang lalu, bisik mereka. Kini anak muda dari negeri itu datang menolong tiga penduduk Jepang yang akan dianiaya oleh penduduk Jepang lainnya?
Si Bungsu meletakkan tas Michiko di rak bagasi di depan mereka. Di sisi ransel lusuhnya. Dia menyilahkan Michiko duduk dekat jendela. Kursinya memang kosong. Dia duduk di samping gadis itu.
Michiko menatap pada si Bungsu. dia seperti tak yakin akan pertemuan ini.
“Kemana saja engkau setelah peristiwa di Asakusa itu?” tanya si Bungsu.
“Saya…saya…” Michiko menunduk. Akan dia katakankah bahwa setelah dilepas oleh Polisi Militer Amerika dulu dia lalu mencari si Bungsu?
Ah, dia jadi malu.
“Untuk beberapa hari saya masih di sana. Tapi hari ke enam, saya lalu ke tempat bibi di kota Hamamatsu”
“Oh, engkau naik di stasiun Hamamatsu pagi tadi?”
“Ya, saya naik di sana..”
“Kota kecil sebelum danau Hamana?”
“Ya, disanalah saya selama ini…”
Si bungsu mengangguk. Dia jadi mengerti kenapa selama dua bulan usaha pengacara Yamada untuk mencari gadis ini tak pernah berhasil. Rupanya dia sudah berada ratusan kilometer dari Tokyo. Di sebuah kota kecil yang tak begitu dikenal.
Peluit kereta api terdengar memekik.
“Kereta akan berangkat” kata Michiko.
Mereka sama menoleh lewat jendela ke luar. Teluk Atsumi kelihatan indah dalam udara sore yang merah. Burung-burung camar kelihatan terbang berkelompok. Terbang rendah, tiba-tiba seekor menukik terjun ke air. Lalu tiba-tiba membubung ke udara.
“Itu teluk Atsumi….” Kata Michiko perlahan takkala sebuah sampan nelayan bergerak di puncak eombak dengan layar yang berwarna kuning.
“Alangkah indahnya….” Kata si Bungsu. Michiko menoleh. Dan tiba-tiba wajahnya berhadapan dengan wajah si Bungsu yang tetap melihat ke teluk. Jarak wajah mereka hanya sejengkal.
Si Bungsu tertegun. Mata Michiko yang hitam bersinar, hidungnya yang mancung dengan anak-anak rambut keluar dari balik penutup kepala yang terbuat dari bulu binatang. Gadis ini adalah salah satu diantara sekian gadis Jepang yang cantik.
Mereka bertatapan. Michiko menatap mata si Bungsu tepat-tepat.
Pemuda ini, bermata hitam dengan sinar yang teguh, beralis tebal dengan rambut yang juga tebal hitam, adalah pemuda asing yang telah dua kali menyelamatkan dirinya.
Dulu, ketika dia selamat dari perkosaan tentara Amerika di Asakusa, seminggu lamanya dia memutari kota Tokyo. Mencari pemuda ini. Dan dengan kecewa dia akhirnya pergi ke tempat bibinya di kota Hamamatsu.
Dan di tempat bibinya itu, selama beberapa bulan, dia tak bisa melupakan wajah anak muda ini. Seorang yang berwajah murung, bermata sayu tapi kukuh, berkulit hitam manis yang entah kenapa tak bisa dia lupakan.
Kini anak muda itu ada sejengkal di depannya.
“Bungsu-san,…. “ katanya perlahan dari jarak sejengkal itu, tanpa melepaskan tatapan matanya dari wajah si Bungsu.
“Michiko-san…” jawab si Bungsu perlahan.
“Terimakasih atas budimu padaku. Di Asakusa dan kini di Gamagori…”
“Tak usah dipikirkan…”
“Masih ingat ketika engkau bertanya tentang kereta yang akan ke Shibuya?”



@



Tikam Samurai - 207