Tikam Samurai - 212

“Pakailah cincin ini. Bila uda sakit atau rindu ke kampung, lihatlah cincin ini, saya selalu mendoakan kebahagiaan udaa…”
Begitu Salma berkata sesaat sebelum dia pergi dahulu.
Dia menoleh ke cincin itu. Dan dia justru terpandang pada wajah Michiko yang tidur bersandar ke bahunya.
Gadis itu tidur dengan tenteram dan nyenyak dalam pelukan tangan kirinya.
Dia menoleh ke luar. Lewat jendela kaca yang kain gordennya belum ditutupkan, dia melihat kegelapan yang pekat di luar sana.
Angin dingin pastilah menusuk-nusuk. Sebab kini musimnya. Dalam kegelapan di luar, dia membayangkan perjalanannya selama di Jepang ini.
Membayangkan Kenji, Hannako dan Tokugawa. Hannako! Ah, sedang mengapa gadis itu kini? Dia tahu gadis itu mencintainya. Itu terlihat dari tindak tanduknya.
Apakah dia juga mencintai gadis itu? Dia tak berani menjawabnya. Dia menyayangi gadis itu seperti dia menyayangi adiknya. Dan tiba-tiba dia menatap wajah Michiko yang tidur dalam dekapannya.
Yang mana antara Michiko dan Hannako yang cantik? Dia tak dapat mengatakan yang pasti. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Dan mana yang cantik antara kedua gadis ini dengan Salma yang di Bukittinggi.
Ah gila, pikirnya. Dia jadi malu pada dirinya memperbandingkan gadis-gadis itu. Dan dengan pikiran demikian, dengan tangan tetap melekuk bahu Michiko, diapun tertidur.
Kyoto. Pada tahun-tahun sehabis perang Dunia ke II Kyoto adalah kota terbesar di Jepang. Lebih besar dari Tokyo yang kini jadi Ibukota.
Kyoto adalah kota tua dari zaman dinasti Tokugawa. Karenanya dalam kota kelihatan bangunan-bangunan peninggalan zaman tersebut. Tua tapi kukuh dan anggun. Kuil-kuil agama Budha dan Shinto terdapat di banyak tempat dalam kota.
Kota itu sendiri di belah-belah oleh beberapa sungai besar dan kecil. Sungai terbesar yang membelah kota itu adalah dua buah sungai yang bergabung jadi satu.
Kedua sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai itu adalah sungai Kamo dan sungai Takano dari utara bergabung jadi satu agak di utara kota, kemudian mengalir ke jantung kota.
Stasiun Kereta Api Kyoto terletak di kawasan daerah Minamiku. Di depannya ada stasiun bus. Stasiun ini ramai sepanjang siang dan malam. Tak perduli musim panas atau musim dingin.
Sepanjang tepi sungai yang mengalir dalam kota dibuat jalan raya yang diteduhi pohon-pohonan sakura.
Si Bungsu menginap di sebuah hotel di persimpangan jalan Imadegawa yang melintasi sungai dengan jalan Karawamachi yang searah memanjang jalan.
Dia berpisah dengan Michiko di depan hotel itu. Di belakang hotelnya adalah areal Istana Kyoto. Istana ini memiliki kebun dan taman yang bukan main luasnya. Di sinilah dahulu Dinasti Tokugawa memerintah.
Dia setaksi dengan Michiko yang juga searah perjalanannya dengan dia. Dari stasiun kereta api mereka menyelusuri jalan raya Kamawarachi arah ke utara. Di persimpangan jembatan Kamo Odhasi dimana letak hotel Kamo dia turun.
“Saya akan datang kemari, boleh?” tanya Michiko.
“Dengan segala senang hati…” jawabnya. Benar saja, esoknya Michiko datang membawa makanan. Mereka duduk di teras belakang hotel itu. Menghadap ke taman Istana Kyoto yang luas.
“Ayah ingin bertemu denganmu. Dia menyampaikan salam…” kata Michiko.
“Terimakasih. Ibumu ada sehat-sehat?”
“Ibu sudah lama meninggal…”
“Oh, maafkan…”
“Selama ini saya hidup dengan ayah. Dan saya mendapatkan kasih sayang yang cukup dari beliau. Kapan Bungsu-san dapat datang ke rumah kami? Rumah saya tak berapa jauh dari sini…”
“Suatu saat saya pasti datang. Bila saya telah bertemu dengan teman yang saya cari…”
“Hei, dari kemaren Bungsu-san bercerita akan menemui seorang teman di kota ini. Tapi Bungsu-san tak pernah mengatakan apakah dia seorang wanita atau lelaki. Teman wanita barangkali?”
Si Bungsu tersenyum.
“Seorang teman istimewa ya Bungsu-san?” Michiko memancing.
“Tidak Michiko-san. Saya mencari teman lama. Seorang lelaki…” kata si Bungsu. perasaan Michiko jadi tenteram. Dan pembicaraan lalu berkisar pada soal lain. Dan setelah sama-sama makan siang di restoran hotel, Michiko lalu pulang.
Si Bungsu jadi lega begitu Michiko pulang. Sebab dia memerlukan waktu untuk latihan terakhir. Dia segera menuju ke kamarnya. Disana, dia membuka samurai. Kemudian berlatih beberapa saat.
Dia melatih pernafasan. Melatih indera dan kecepatan reaksinya. Dia berlatih hingga malam turun. Dan malam itu dia tidur dengan lelap sekali.



@



Tikam Samurai - 212