Tikam Samurai - 213

Subuh. Ini adalah hari ke tiga dia di Kyoto. Dan hari ini dia akan menemui “teman lamanya” itu. Teman yang telah lama tak bersua, Saburo Matsuyama!
Dia membuka peta kecil yang dia beli ketika masih di Tokyo. Dan mempelajari peta itu dengan seksama.
Mempelajari letak sebuah kuil. Kuil Shimogamo. Kuil tersebut terletak di daerah Shimogamo. Terletak antara jalan Shomogamo Higasi dan jalan Shimogamo Hon. Kuil itu juga terletak antara sungai Takano di sebelah kanannya dan sungai Kamodi di sebelah kirinya.
Dia harus menempuh jalan Shimogamo Hon dari hotelnya ini. Kemudian melintas di jembatan Aoi yang terletak di atas sungai Kamo.
Kesanalah dia kini pergi! Di Tokyo, ketika dalam penjara dia mendapat alamat dimana Saburo berada. Keterangan itu diperolehnya lewat seorang tentara Amerika bahagian dokumentasi. Dia tahu dimana bekas-bekas tentara Jepang berada.
Hari masih pagi ketika dia melintas di jembatan Aoi itu. Udara dalam musim dingin itu berkabut. Dia berjalan santai. Di pinggangnya tergantung samurai yang beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa ibu, ayah dan kakaknya!
Kini dengan pakaian Kimono berwarna hitam bertuliskan aksara (huruf) Kanji, yaitu aksara yang dipakai dalam bahasa Jepang, dengan samurai di pinggang kiri maka dia tak ada obahnya seperti orang-orang Jepang.
Beberapa orang Jepang yang berpapasan jalan dengannya membungkuk memberi hormat. Dia juga melakukan hal yang sama.
Di kota ini, keakraban dan basa basi masih tinggi terasa.
Dari mulutnya sambil berjalan itu berkumandang dengan lembut lagu yang diajarkan Kenji ketika mereka di kapal dulu :
“Ame ga futtemo ikimasu
Nakanaide kuda-sai
Watashi o wasurenaide kudasai…
sayonaraaaa”
(Meskipun turun hujan
saya tetap akan pergi
Jangan menangis
Jangan lupan saya
Selamat tinggal…!”)
Lagu itu dia ulangi beberapa kali. Beberapa lelaki Jepang yang berpapasan dengannya mengangguk. Dia juga mengangguk sambil tetap menggumankan nyanyi itu.
Dan tiba-tiba dia melihat kuil itu! Kulil Shimogamo! Dia terhenti. Tubuhnya terasa membeku. Tapi juga panas dan menggigil.
Kuil itu terletak di ujung sebuah taman yang cukup luas. Perlahan dia membelok ke kanan dari jalan Shimoga-hon. Kemudian berbelok ke kiri melintasi taman pepohonan yang rimbun. Seratus meter berbelok ke kiri. Dan tiba-tiba kakinya telah menginjak altar Kuil Shimogamo!
Dan dia terhenti di ujung altar.
Puluhan pendeta berkepala botak kelihatan sedang berlatih beladiri. Ada yang berlatih dengan pentungan kayu sepanjang satu setengah depa.
Ada yang berlatih karate. Ada yang berlatih samurai. Dia tak kaget. Sebab dia telah diberitahu tentang kuil ini. Dan hampir di seluruh kuil di Jepang atau Tiongkok kepada para pendetanya memang diajarkan berbagai jenis beladiri.
Hal ini sudah menjadi tradisi bagi kuil-kuil tersebut. Tujuan utamanya di zaman dahulu kala adalah menghadapi musuh yang selalu saja ingin menguasai sebuah kuil.
Menyebarkan agam, seperti halnya di Indonesia, selalau mendapat tantangan. Maka kalau di Indonesia para malin, terutama di Minangkabau biasanya adalah pesilat-pesilat tangguh, maka di Jepang mereka umumnya adalah Karateka atau samurai yang tangguh pula.
Hanya saja kini kegunaan pelajaran beladiri itu sudah jauh berbeda. Tidak lagi untuk menghadapi musuh. Tapi untuk kesehatan. Jadi fungsinya sudah bertukar jadi olahraga!
“Maafkan, bisa saya bantu?” sebuah suara ramah menyadarkan si Bungsu yang masih tegak diam diujung altar kuil itu.
Kuil itu besar, bersih dan anggun.
Dia menoleh. Seorang pendeta berjubah merah berkepala botak dan berwajah ramah, tegak disisinya.
“Apa yang bisa saya bantu?” ulang pendeta itu lembut.
“Oh..ya…. saya ingin bertemu dengan Obosan….dapatkah dia menerima kedatangan saya?
Obosan adalah kepala pendeta.
Pendeta itu menatapnya dengan sinar mata yang lembut. Dia tak bertanya sedikitpun darimana orang ini datang, dan ada urusan apa kedatangannya. Itu adalah urusan pribadi. Dan kuil tak ada hak mencampuri urusan pribadi orang.
Lagipula setiap orang yang berkunjung ke kuil haruslah dihormati.



@



Tikam Samurai - 213