Tikam Samurai - 219

“Bagaimana kalau hari ini anakmu ini kuperkosa sebagai balasan atas yang engkau perlakukan pada kakakku, pada puluhan wanita Indonesia lainnya semasa engkau jadi perwira Kempetai?”
Kepala Saburo terangkat menatap pada si Bungsu.
“Ampunkan saya, jangan sakiti anak saya. Engkau cencang dan bunuhlah saya, tapi jangan ganggu anak saya…”
Suaranya yang bermohon itu tambah menyakitkan hati si Bungsu.
“Bukankah ketika engkau akan membunuh ayahku, ibuku datang menyembah kakimu, memohon belas kasihanmu agar jangan membunuh suaminya? Namun saat itu engkau tega membunuhnya. Sekarang aku akan bunuh anakmu…..!”
Sebenarnya tak ada niat si Bungsu untuk menyakiti Michiko. Namun ingatan terhadap kematian ayah, ibu dan kakaknya, benar-benar melukai hati anak muda ini.
Dan tanpa dapat dia kuasai sepenuhnya, tangannya bergerak mendorong tubuh Michiko yang ada dalam dekapannya.
Gadis itu terpekik dan rubuh mandi darah! Pakaian tentang punggungnya robek. Darah mengalir dari sana.
Saburo terlompat tegak.
“Michiko-sannnn…” Saburo benar-benar memekik dan menangis sambil menubruk tubuh anaknya itu. Gadis itu memang jantung hatinya. Anak tunggal yang sangat disayangi.
Melihat si Bungsu sudah mencelakai Michiko dua orang pendeta yang menjadi instruktur Samurai maju serentak. Namun yang mereka hadapi saat ini, mungkin satu-satunya manusia yang tercepat mempergunakan samurai di seluruh tanah Jepang saat itu.
Hal itu segera terbukti, ketika dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata, samurai ditangannya membabat samurai di tangan kedua sensei itu.
Kedua samurai pendeta itu hampir saja terpental ke udara saking kuat dan kukuhnya benturan samurai si Bungsu.
Mereka kaget. Dan kekagetan itu adalah kelemahan mereka. Sebab waktu yang sedetik untuk kaget itu sudah terlalu panjang bagi si Bungsu.
Samurainya bekerja lagi. Salah satu samurai di tangan pendeta itu terpental ke udara. Dan kedua pendeta itu rubuh dengan dada robek.
Si Bungsu berputar, dan samurainya memukul samurai yang terpental ke udara, yang saat itu sedang meluncur turun.
Terdengar suara besi beradu dan bunga api memercik. Kemudian samurai pendeta yang terpukul itu tertancap setengah jari dari tubuh Saburo Matsuyama yang tengah memeluk Michiko.
Kejadian beruntun itu amat cepat. Suasana tiba-tiba jadi sepi. Samurai yang tertancap di lantai itu bergoyang.
“Apakah engkau akan berlindung terus dibalik punggung murid-muridmu Saburo? Apakah engkau tak mengenal malu menyuruh pendeta yang tak berdosa ini untuk bertarung menyelamatkan nyawamu? Tegak dan pertahankan dirimu!
Aku bukan hewan seperti engkau yang sampai hati membunuh perempuan. Anakmu hanya terluka kulit”
Suara si Bungsu terdengar dingin. Dan dia tegak dengan samurai berdarah di tangannya. Dengan kaki terpentang lebar.
Michiko memang tak cedera. Hanya kulit punggungnya luka sedikit. Luka tergores. Si Bungsu memang tak berniat menderainya. Dia hanya bermaksud memancing amarah Saburo untuk mau melawannya.
Dan kali ini, tak seorangpun diantara para pendeta yang puluhan banyaknya itu berani maju menyerang.
Sudah delapan orang pendeta pendeta kuil mereka yang menemui ajal ditangan anak muda perkasa ini.
Dan kedelapan orang itu, semua adalah para sensei. Instruktur mereka. Kalau instruktur mereka saja dengan mudah dirubuhkan anak muda itu, apalagi diri mereka.
Kini mereka hanya tegak berkeliling menanti sikap obosan mereka. Saburo akhirnya tegak. Menatap pada si Bungsu.
Dia akhirnya menyadari, bahwa anak muda ini tak berniat mencelakai diri Michiko. Dia akhirnya menyadari, bahwa dari jauh anak muda ini datang benar-benar dengan maksud mencari dan menghendaki nyawanya.
Dia sudah mengukur kemampuan anak muda ini dalam memakai samurai. Dalam Kempetai yang bertugas di Asia, dia termasuk salah seorang samurai yang tangguh.
Tapi, kini melihat cara anak muda itu mempergunakan senjata tradisionil mereka itu, dia yakin jarang tandingannya di negeri ini. Anak muda ini bersilat samurai bukan dengan sistim dan ilmu samurai yang biasa.
Dia bersilat dengan hati dan istinknya! Inilah kelebihan anak muda itu. Kelebihan yang tak mungkin ditandingi.



@



Tikam Samurai - 219