Tikam Samurai - 218

Dia tak bisa mendekati orang-orang itu. Itulah bahanyanya. Lagipula, dia harus menghemat tenaga. Sebab setelah ini, lawan yang harus dia hadapi adalah Saburo!
Karena itu, begitu ada lowongan sedikit, dia lalu mempergunakan Lompat Tupai. Tubuhnya bergulingan di lantai. Tapi beberapa tongkat sempat menghajar tubuhnya. Sakitnya bukan main.
Dia menahan sakitnya dengan tetap bergulingan. Yang dia tuju adalah Michiko! Dan dalam gulingan terakhir dia mencapai diri Michiko yang terduduk lemah dan menangis!
Dia sambar tubuh gadis itu. Membawanya bergulingan di lantai. Sebelum orang-orang tahu dan sadar apa yang terjadi, dia sudah bangkit mengapit Michiko dengan melekatkan samurai itu ke leher gadis tersebut!
“Majulah, dan gadis ini akan kupotong lehernya!” dia mendesis di antara nafasnya yang memburu. Semua orang terpaku di tempatnya. Saburo terbelalak.
Michiko menggigil dan menangis.
“Perintahkan mereka mundur semua Saburo. Atau kau ingin anakmu ini terbunuh….?!” Suara si Bungsu mengancam lagi seperti sayatan pisau cukur.
“Mundur….! Mundurlah semua!! “ kata Saburo.
Suaranya terdengar sangat bermohon. Dia sangat megkhawartirkan nasib puterinya. Belasan pendeta itu segera mundur. Dan ditengah ruangan kini tegak si Bungsu mengepit Michiko.
Lima depa didepannya tegak dengan tubuh lunglai Saburo Matsuyama. Si Bungsu menatap keliling. Menatap pada pendeta-pendeta yang mengepungnya.
Kini seluruh pendeta yang di luar yang tadi latihan di altar Doyo, sudah masuk. Mereka memegang berbagai senjata. Tongkat kayu, samurai, rantai, double stick dan tombak.
Di tengah ruangan, selain si Bungsu, Michiko dan Saburo, juga tergeletak empat mayat pendeta yang mati dimakan samurai si Bungsu.
Para pendeta yang masih hidup termasuk Saburo, benar-benar terkejut melihat kehebatan orang asing ini mempergunakan samurai. Tak pernah terbayangkan di fikiran mereka bahwa ada seorang asing yang akan mampu mempergunakan samurai seperti itu.
Mereka kini tegak dengan diam.
“Kalian dengarlah!” si Bungsu berkata dengan tetap mengancamkan samurainya pada leher Michiko.
“Saya tak bermusuhan dengan kalian. Saya datang dari Indonesia mencari seorang lelaki yang telah membunuh ayah saya dengan licik. Yang sampai hati membunuh ibu saya. Seorang perempuan yang tak berdaya. Lelaki itu juga memperkosa kakak saya. Kemudian, setelah dia puas, dia membunuhnya. Lelaki jahanam itu menghantam saya dengan samurainya. Saya rubuh. Kemudian lelaki itu, yang memimpin sebuah pasukan yang paling kejam, membakar kampung saya membunuhi para lelaki dan kanak-kanak. Memperkosa perempuannya.
Tuhan mentakdirkan saya tetap hidup. Saya bersumpah untuk mencari lelaki itu. Saya berlatih samurai. Dan bersumpah akan membunuh lelaki jahanam itu dengan samurai yang dia pergunakan membunuh keluarga saya.
Dari jauh saya datang, di sini saya temukan lelaki itu. Dialah Obosan Saburo Matsuyama!”
Si Bungsu menunjuk pada Saburo dengan ujung samurainya yang berlumur darah. Semua pendeta kuil Shimogamo itu tertegun. Mereka menatap pada obosan mereka. Suasana jadi amat sepi.
Saburo menjatuhkan diri. Berlutut di lantai. Kepalanya menunduk dalam-dalam.
Lalu terdengar suaranya serak:
“Benar. Semua yang diucapkan anak muda itu adalah suatu kebenaran. Hidup saya dimasa lalu dilumuri dosa dan darah. Apa yang dia katakan memang benar….saya pantas menerima pembalasan yang setimpal” suara Obosan itu mirip sebuah tangisan. Bergetar dan nyata bathinnya sangat terpukul.
Semua pendeta yang mendengar pengakuan itu seperti mendengar petir di siang hari. Mereka adalah orang-orang pencinta perdamaian. Kuil Shimogamo selain disegani karena pendekar-pendekarnya, karena Obosannya yang berwibawa juga disegani dan banyak pengikutnya karena kasih sayang yang disebarkannya.
Di Kyoto ini ada beberapa buah kuil besar. Kuil-kuil besar yang dihormati dan disegani orang itu adalah kuil Shimogamo, kuil Daitokuji dan kuil Kinkakuji. Keduanya terlegtak di daerah Kitaku. Kemudian kuil Kitano, kuil Myoshinji, kuil Koryuji, kuil Toji dan kuil Higashi Honganji.
Namun diantara kuil-kuil besar itu, maka kuil Shimogamo merupakan kuil yang paling dihormati dan disegani penduduk Kyoto.
Dan kini, ternyata Obosan mereka, Kepala Pendeta yang selama ini merela hormati, yang selama ini mereka banggakan, dituduh sebagai seorang pembunuh, penyebar bencana, pemerkosa dan malah pembunuh kanak-kanak! Mereka hampir-hampir tak percaya.
Tapi betapa mereka takkan percaya, kalau Obosan sendiri mengakui hal itu?
Bagi Saburo, ini adalah pukulan terhebat selama hidupnya setelah kematian isterinya.
Melihat Saburo yang berlutut di lantai itu, si Bungsu berkata..



@



Tikam Samurai - 218