Tikam Samurai - 233

“Bukan salah saya kalau teman-temanmu yang di hotel itu mati. Telah saya katakan saya tak mau persoalan diperlarut-larut. Buata apa kita saling bunuh? Saya sudah bosan dengan pekerjaan membunuhi orang….”
Ucapan si Bungsu ini sbenarnya keluar dari hati yang ikhlas. Dia memang tak lagi berniat jadi tukang jaga. Dan itu sudah dia buktikan di hotel ketika anggota Kumagaigumi itu datang tiga hari yang lalu.
Dia tak mau melawan mereka. Dan hal itu hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Keempat lelaki yang memasuki kamar hotelnya itu benar-benar tak berperikemanusiaan. Untunglah di saat yang sangat gawat Zato Ichi datang membantu.
Dan kali inipun, seperti halnya keempat anggota Kumagaigumi di hotel tiga yang lalu, keenam lelaki ini salah duga akan ucapan si Bungsu.
Kalau yang datang ke hotelnya dulu menganggap bahwa anak muda ini takut, maka keenam lelaki ini justru menganggap dengan ucapannya itu si Bungsu tengah menggertak mereka.
Dengan ucapan “Saya sudah bosan jadi tukang bunuh”, mereka menganggap bahwa anak muda ini seakan-akan berkata : “ dengan mudah saya bisa membunuh kalian. Tapi saya sudah bosan…”
Nah, salah duga biasanya mendatangkan malapetaka. Dan itulah yang akan terjadi di kuil ini.
“Jangan menyombong buyung. Apakah kau sangka dengan kemenanganmu melawan anggota Jakuza di Tokyo, kemudian menang lagi melawan anggota kami di Gamagori, lalu terakhir menang lagi melawan pendeta di kuil Shimogamo, engkau menyangka bahwa dirimu sudah hebat?”
“Tidak. Saya tidak bermaksud menyombong. Saya memang tak berniat untuk berkelahi”
“Baik. Kalau begitu engkau harus ikut kami ke markas..”
“Itu juga tak saya inginkan…”
“Heh, berkelahi tak mau. Ikut kami juga tak mau. Lalu apa maumu?”
“Saya tak ingin apa-apa. Lupakan saja peristiwa yang lalu…”
“Itu bukan menginginkan apa-apa buyung. Meminta kami melupakan perbuatanmu di masa lalu sudah merupakan suatu keinginan yang laknat. Lebih baik kau cabut samuraimu, dan lawan kami…”
Zato Ichi terdengar bersiul kecil. Siulnya menyanyikan lagu Musim Dingin. Suara siulnya lembut dan bergetar.
Si Bungsu tersenyum. Tersenyum mendengar tantangan itu dan tersenyum mendengar siul Zato Ichi.
Dan senyumannya membuat hati pimpinan Kumagaigumi ini jadi berang. Dia memberi isyarat pada tiga anak buahnya. Ketiga orang itu segera maju dengan menghunus samurai mereka.
Mereka mengatur posisi.
Sil Zato Ichi makin jelas terdengar dalam suitan angin musim dingin di luar Kyoto itu. Dan tiba-tiba salah seorang menggebrak maju membabat perut si Bungsu. yang dua lagi dengan cepat menghantam kepala dan kakinya.
Serangan itu demikian cepatnya. Namun si Bungsu tak mencabut samurainya. Dia mengelakkan ketiga serangan itu dengan memiringkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kaki kanan yang dibabat samurai!
Lalu melangkah ke depan dua langkah. Ketiga serangan itu lewat tanpa mengenai sasaran. Siul Zato Ichi masih terdengar. Mendayu dan kadang-kadang terhenti pada puncak nada yang tinggi. Tiga serangan lagi menggebu ke arahnya.
Si Bungsu mempergunakan sarung samurainya untuk menangkis serangan itu. Dia sengaja tak mencabut samurai dari sarungnya. Dan sarung samurai yang terbuat dari kayu keras itu dia pergunakan sedemikian rupa hingga ketika membentur samurai lawan jadi mencong arah serangannya.
Dua kali serangan seorang. Berarti si Bungsu sudah menggagalkan enam jurus serangan ketiga lawannya tanpa menjatuhkan korban.
Ketiga orang itu saling pandang. Demikian juga tiga temannya yang belum turun tangan ikut kaget melihat kehebatan anak muda ini.
Kemudian seperti dikomandokan, mungkin karena ingin cepat menyelesaikan perhitungan ini, keenam mereka tiba-tiba maju serentak.
Enam samurai dari penjahat-penjahat Kumagaigumi yang terkenal, menggebu-gebu ke tubuh si Bungsu. keenam mata samurai itu menyeranga enam tempat yang berbahaya ditubuhnya.
Sebenarnya, bagi mata samurai, bahagian manapun di tubuh manusia tetap saja merupakan bahagian yang berbahaya. Karena meskipun mengenai tempat yang tak mematikan, mengenai kaki atau tangan misalnya, tapi serangan itu bisa membuat orang lumpuh seketika. Bayangkan saja kalau tangan atau kaki putus.
Maka kini, nasib itulah yang sedang di hadapi si Bungsu. namun kali ini dia tak mau anggap enteng. Bermain samurai baginya kahir-akhir ini memang bukan merupakan suatu “kerja” yang mendatangan rasa susah.



@



Tikam Samurai - 233