Tikam Samurai - 234

Gerak tangannya mempergunakan samurai itu hampir-hampir merupakan gerak yang tak diperhitungkan. Merupakan sesuatu kewajaran yang mutlak dan sangat berperhitungan.
Begitu gebrakan keenam samurai itu menderu mengurung dirinya, tangan kanannya bergerak pula. Samurai tercabut tak sampai sekerdipan mata. Dan saat berikutnya, suara beradunya baja terdengar mengoyak suitan angin dingin. Beberapa bunga api memercik dari pertemuan samurai itu.
Kemudian terdengar seruan-seruan tertahan dan rasa kaget. Keenam anggota Kumagaigumi itu tersurut setindak begitu samurai mereka dihantam samurai anak muda itu.
Tangan mereka terasa sakit dan tergetar hebat takkala samurai mereka beradu tadi. Hampir saja samurai di tangan mereka berpentalan ke  udara kalau mereka tak cepat-cepat mundur.
 Dan kini si Bungsu tegak dengan diam dan dengan samurai tersisip kembali dalam sarangnya!
“Sudahlah, kita akhiri saja pertikaian ini….” Dia ingin berkata demikian. Namun ucapannya belum sempat keluar takkala keenam lelaki itu dengan didahului sebuah pekik Banzai menggebrak lagi maju!
Enam samurai kembali bersuitan dengan kecepatan luar biasa. Namun saay berikutnya hanya pekik kaget dan sakit yang terdengar. Keenam samurai di tangan anggota Kumagaigumi itu mental ke udara. Tercampak jauh dan menimbulkan bunyi yang berisik ketika menimpa lantai batu di halaman belakang kuil tua itu.
Dan keenam lelaki itu merasakan betapa tangan atau rusuk mereka jadi pedih dan mengalirkan darah! Siul Zato Ichi terhenti seketika. Kepalanya tertegak.
Si Bungsu masih tetap tegak. Dan kali ini perlahan dia menyarungkan kembali samurainya. Dan keenam lelaki itu, termasuk Zato Ichi, segera sadar sepenuhnya, bahwa anak muda ini benar-benar telah bermurah hati mengampuni nyawa mereka. Kalau saja dia mau, maka dengan mudah dia bisa menghabisi mereka semua.
Tapi buktinya tak seorangpun di antara mereka berenam yang luka parah. Luka di tangan dan rusuk mereka saat ini hanyalah semacam “pemberitahuan”.
“Saya tak suka kekerasan. Saya berharap pertikaian kita selesai disini. Dan saya maafkan kalian. Namun saya peringatkan, setelah kejadian ini jika masih ada anggota Kumagaigumi yang menghadang jalan yang saya tempuh, maka saya akan membunuhnya disaat pertama?”
Suara anak muda ini terdengar amat dingin. Mengatasi udara dingin di musim dingin saat itu. Dan tak seorangpun di antara mereka yang hadir disana, termasuk Zato Ichi yang menganggap bahwa anak muda ini hanya tukang bual dengan ucapannya barusan.
Semua mereka yakin, bahwa anak muda itu akan mampu membuktikan ucapannya itu. Bukan hanya sekefar gertak sambal!
Dengan didahului oleh pimpinannya yang bertubuh kekar berkumis lebat, keenam anggota Beruang Gunung itu segera angkat kaki tanpa memungut samurai mereka yang bertebaran di halaman kuil itu.
“Ck…ck…ck! Benar-benar ilmu samurai yang luar biasa…”
Si Bungsu menoleh dan melihat Zato Ichi masih duduk di kursi batu enam depa dari tempatnya tegak.
Zato Ichio bukan hanya sekedar memuji. Dia sengaja tak ikut membantu anak muda itu karena ingin “melihat” bagaimana caranya orang asing ini mempergunakan samurai.
Dia “melihat” dengan indera pendengarannya yang tajam luar biasa itu. Ya, meski matanya buta, Zato Ichi bisa “melihat” dengan jelas melalui indera pendengaran, penciuman dan tangannya.
Dari bau yang tercium oleh hidungnya dia segera mengetahui ada manusia, hewan atau benda lain yang tak bergerak disekitarnya. Kegelapan merupakan kawan utamanya sepanjang hidup. Bayangkan hidup tanpa mata. Itulah yang selalu dilawan oleh Zato Ichi.
Dan perkelahian si Bungsu dengan keenam anggota Kumagaigumi itu dengan jelas bisa dia “saksikan”. Dia tahu dengan pasti, betapa samurai anak muda itu menghantam samurai-samurai anggota Kumagaigumi itu.
Dia tahu pula dengan pasti, bahwa anak muda itu menghantam samurai keenam lelaki itu dengan punggung samurainya. Pukulan dengan punggung samurai itu sangat keras. Dan itulah sebabnya keenamnya terpental. Kekuatan yang dikombinasikan dengan perhitungan dan tekhnik yang hampir-hampir sempurna.
“Nampaknya engkau memiliki banyak musuh anak muda. Setiap orang di negeri ini menghendaki nayawamu…” suara Zato Ichi kembali bergema.
Si Bungsu menarik nafas panjang. Seperti sebuah keluhan yang dalam. Ya, setiap orang seperti menghendaki nyawanya. Termasuk Michiko!!
“Apakah mereka akan datang lagi?” si Bungsu bertanya perlahan.
“Barangkali. Tapi meskipun mereka tak datang kemari, mereka akan tetap menghadang jalanmu..”
“Bila itu terjadi, maka aku akan membuktikan kata-kataku tadi..”



@



Tikam Samurai - 234