Tikam Samurai - 235

“Ya. Engkau harus. Sebab mereka memang menghendaki nyawamu. Barangkali engkau ingin tetap mengalah. Tapi sampai bila engkau mampu bertahan? Suatu saat, engkau akan sampai pada titik, dimana engkau harus memilih antara membunuh atau dibunuh”
Si Bungsu termenung.
“Apa yang kau alami hari ini dan hari-hari mendatang, persis seperti yang kualami di zaman yang lalu Bungsu-san. Engkau memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain.
Engkau mempunyai kelebihan, dan orang jadi iri. Orang berusaha menjatuhkanmu. Engkau seorang yang tangguh, dan orang jadi ingin menguji sampai dimana ketangguhanmu.
Menjatuhkan dirimu merupakan kebanggan bagi orang yang iri atau musuhmu. Sebab dengan bangga mereka bisa berkata: aku telah menjatuhkan dan menghancurkan jagoan itu. Maka jalan yang akan kau tempuh, akan selalu berkuah darah”
Si Bungsu termenung.
“Negeri ini memang jauh berbeda kini Bungsu-san. Kini banyak mobil. Banyak listrik dan modernisasi. Tapi satu hal yang tak berobah. Yaitu kekerasan watak penduduknya. Di zaman saya dahulu, saya harus menjaga leher saya untuk tidak ditebas orang. Padahal yang saya perbuat tak lebih dari sekedar membela orang yang teraniaya. Menolong orang yang tertindas dari kesewenang-wenangan penguasa dan orang kaya. Saya memang tak mengharapkan balasan. Tapi musuh saya jadi terlalu banyak. Orang-orang miskinpun ikut memburu dan menghendaki nyawa saya…’
Si Bungsu jadi kaget.
“Ya. Merekapun ikut memburu saya. Karena penguasa dan orang kaya yang pernah saya gagalkan niat jahatnya, membayar mereka untuk itu. Maka uang segera saja mengalahkan hati nurani manusia. Namun mustahil saya bisa mengalah terus menerus. Ada kalanya saya terpaksa menurunkan tangan kejam.
Beberapa orang, atau tepatnya sekian ratus orang, ya Tuhan saya tak ingat lagi berapa jumlah yang pasti, telah saya bunuh. Ya, itulah yang terpaksa saya lakukan. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk membuang samurai saya.
Tapi itu berarti bunuh diri. Saya menghindar ke hutan. Dapat kau bayangkan Bungsu-san? Kita harus menghindarkan diri ke rimba hanya untuk tidak membunuh manusia.
Peradaban ternyata lebih tinggi di rimba raya daripada di kota yang dihuni manusia. Di sana, dibelantara itu saya menemukan kedamaian. Tak ada dengki dan khianat. Tak ada penindasan. Dan sejak itulah saya dianggap lenyap dari bumi Jepang…”
Keadaan jadi sunyi. Hanya suitan angin dingin yang terdengar. Si Bungsu terdiam, karena dalam ucapannya tadi dia menangkap nada yang luka dihati Zato Ichi.
Dai tak menyangka, bahwa seorang pahlawan rakyat Jepang, yang namanya menjadi legenda yang amat dicintai orang, ternyata memendam duka hidup yang alangkah pedihnya.
“Lalu, kenapa kini Ichi-san mencul ke kota?”
“Ada suatu tugas yang harus saya lakukan…”
“Kenapa hari itu justru muncul di kamar saya dan persis ketika nyawa saya terancam?” Zato Ichi tak menyahut. Dia menunduk.
“Saya sangat bersyukur dan berhutang budi pada Ichi-san. Kalau Ichi-san tak datang saat itu, saya pasti sudah mati…”
Zato Ichi menarik nafas panjang dan berat.
“Kehadiran saya itu, termasuk bahagian dari tugas saya…” suaranya terdengar perlahan.
“Tentulah tugas besar. Dan saya akan sangat gembira kalau bisa membantu Ichi-san…”
“Tak seorangpun yang dapat membantu saya Bungsu-san…”
“Tugas apa itu yang tak mungkin dibantu?”
“Saya sendiri tak yakin, apakah saya bisa melaksanakannya…” suara Zato Ichi terdengar getir.
“Kalau boleh saya tahu, apakah tugas itu?”
“Membunuh seseorang..”
“Membunuh seseorang?”
“Ya…”
Si Bungsu menatap tak mengerti pada Zato Ichi. Padahal baru sebentar ini pahlawan itu berkata, bahwa dia terpaksa harus lari menyembunyikan diri ke rimba untuk menghindar dari orang-orang bayaran yang diupah untuk membunuhnya.
Tapi justru hanya beberapa detik setelah itu Zato Ichi sendiri mengakui bahwa dia “disruh” seseorang untuk membunuh seseorang. Atau tugasnya, disuruh untuk membunuh orang lain. Sesuatu yang menurut ceritanya sangat dia benci.
Dan Zato Ichi nampaknya mengerti apa yang tengah dipikirkan si Bungsu.
“Saya tidak dibayar Bungsu-san. Tak ada yang bisa membayar samurai saya. Samurai saya tak pernah berlumur darah orang-orang yang tak berdosa…”
“Tapi, kenapa kali ini Ichi-san mau disuruh membunuh? Siapa yang menyuruh, dan siapa yang harus Ichi-san bunuh…”
“Saya diminta membunuh seseorang. Dan saya tak mungkin menolak. Sebab jika saya menolak, maka saya akan dianggap tidak membalas budi. Saya tak mau dianggap tak berbudi. Karena saya menjunjung budi pekerti ….”



@



Tikam Samurai - 235