Tikam Samurai - 236

“Saya tak mengerti apa yang Ichi-san maksudkan..’
“Ya, saya sendiri juga sulit memikirkannya Bungsu-san….hampir dua puluh tahun yang lalu, saya dalam perjalanan melarikan diri dari kejaran penjahat-penjahat di daerah Tanjung Noto.
Saya menyangka nyawa saya takkan tertolong lagi. Saya dalam keadaan sekarat karena luka yang saya perdapat dari tembakan bedil dua orang penjahat. Waktu itulah seseorang menyelamatkan saya…. Dapat Bungsu-san menegrti betapa saya berhutang budi padanya?”
Si Bungsu mengangguk. Betapa tidak, cerita itu mirip dirinya, dia telah diselamatkan dalam keadaan luka parah, diambang maut, oleh Zato Ichi.
Kalau kelak Zato Ichi meminta dia melakukan sesuatu, maka dia pasti tak pula bisa menolak.
“Ya, saya dapat mengerti sekarang…” kata si Bungsu. Zato Ichi  tetap diam. Masih tetap duduk di bangku batunya. Sementara si Bungsu juga duduk di kursi batua dua depa dihadapannya.
“Dia yang menugaskan Ichi-san membunuh seseorang itu?”
“Tidak. Dia sudah mati. Yang menugaskan saya adalah adiknya….adiknya mencari saya dan menceritakan kematian abangnya. Dan meminta saya mencari pembunuh abangnya itu untuk membalaskan dendam. Yaitu membunuh pembunuh abangnya yang telah membantu saya dahulu…”
Ya. Saya mengerti sekarang. Ichi-san harus melakukannya. Dan kenapa pula saya tak bisa membantu Ichi-san? Bukankah kita bisa pergi bersama mencari orang itu, dan bersama pula membunuhnya?”
Zato Ichi manarik nafas panjang.
Dan si Bungsu dapat melihat, betapa dalam diri pahlawan Jepang itu berperang rasa yang sulit untuk diduga.
Si Bungsu mengerti. Dalam hidupnya, seperti yang dikatakannya tadi. Zato Ichi tak pernah melumuri samurainya dengan nyawa orang yang tak bersalah. Kalau Zato Ichi tentu merasa berat untuk melakukan pembunuhan itu.
Dan si Bungsu merasa kinilah saatnya dia membantu Zato Ichi. Yang penting bagi Zato Ichi tentulah orang yang dia cari itu mati. Tak perduli melalui tangan siapapun. Kalau Zato Ichi keberatan bukankah dia dapat menggantikan tugas ini?
Dia akan kembali ke Indonesia tak lama lagi. Apa salahnya sebelum pergi, sebagai tanda terimaksih, dia menolong Zato Ichi membunuh lawannya?
“Saya dapat membantumu Ichi-san. Tunjukkan siapa orangnya, dan Ichi-san tak perlu melumuri tangan Ichi-san dengan dosa, biar saya yang melakukannya…”
Si Bungsu terhenti takkala dia melihat airmata Zato Ichi mengalir dipipi.
“Tak apa-apa Ichi-san. Saya dengan rela menggantikan tugas Ichi-san. Saya dapat mengerti perasaan Ichi-san. Ini adalah negeri Ichi-san. Ichi-san sudah lama meninggalkan dunia bunuh membunuh ini. Dan Ichi-san akan tetap disini. Sementara saya, setelah tugas itu selesai, akan kembali ke negri saya. Dan orang akan melupakan peristiwa itu…”
Zato Ichi tak menyahut. Dia tetap tenang dan duduk memegang samurainya.
“Kalau Ichi-san tak keberatan, tunjukkan saja pada saya siapa orang yang harus dibunuh itu…”
“Dia orang asing…”
Si Bungsu tertegun. Orang asing! Pastilah tentara Amerika. Ya, siapa lagi yang mebuat kekacauan di negeri ini selama lima-enam tahun ini kalau tidak tentara pendudukan.
Tentara Amerika itu pastilah telah membunuh orang yang pernah menolong Zato Ichi. Dan kini Zato Ichi harus membunuhnya. Patutlah Zato Ichi merasa tak enak hati untuk melakukan tugas itu.
“Tentara Amerika?” tanya si Bungsu.
Zato Ichi menggelang.
“Siapa?”
“Engkau Bungsu-san…!”
Suara Zato Ichi terdengar getir tapi pasti! Si Bungsu tertegun. Dia hampir tak percaya pada pendengarannya. Zato Ichi menarik nafas panjang. Dan suaranya terdengar perlahan:
“Ya, engkaulah orangnya yang harus saya cari dan harus saya bunuh Bungsu-san…”
Si Bungsu masih tetap tak berbicara. Tak kuasa bicara. Kalau benar dia yang harus dibunuh lelaki ini, kenapa dia menolongnya dari ancaman maut di hotel dulu? Kenapa dia juga mengobati lukanya?
Ada hal-hal yang tak masuk akal!
“Saya tak berdusta Bungsu-san. Lelaki yang menolong saya dua puluh tahun yang lalu itu adalah Saburo Matsuyama…”
Kalau ada petir yang menyambar, mungkin si Bungsu takkan seterkejut ini.
“Ya. Dialah yang menolong nyawa saya Bungsu-san. Waktu itu dia belum memasuki dinas ketentaraan. Setahun setelah peristiwa itu dia baru jadi tentara kekaisaran Tenno Heika.
Dan beberapa hari yang lalu, saya dengar dia meninggal di kuilnya Shimaogamo. Saya ada disana ketika upacara penguburan itu



@



Tikam Samurai - 236