Tikam Samurai - 269

Dia menginap di Sam Kok Hotel di daerah pelabuhan Anting. Yaitu sekitar tempat dimana Nurdin kena berondong peluru tempo hari.
Seperti yang dia katakan, dia memang tak mengetahui sedikitpun tentang dunia spionase. Tak tahu. Benar-benar tak tahu dia akan dunia yang banyak belitnya itu. Namun dia memang bertekad untuk melanjutkan penyelidikan dan menjalankan pesan Nurdin sesaat setelah dia kena berondong peluru senapan mesin.
Meski tak punya pengetahuan tentang dunia spion itu, anak muda ini memiliki modal yang amat besar untuk menjadi seorang spion.
Yaitu memiliki daya ingat dan firasat yang tajam sekali. Firasatnya sudah merupakan indera keenam. Yang hampir-hampir bisa memastikan setiap bahaya yang mengintai dirinya.
Dari firasatnya yang amat tajam itu pula yang mengisyaratkan padanya, bahwa sejak dia meninggalkan gedung konsulat, dia telah diikuti orang. Dalam perjalanan menuju ke hotel dia menoleh ke belakang. Tak ada yang mencurigakan. Banyak mobil yang seiring jalan dengan mereka. Selintas lihat segalanya wajar-wajar saja. Namun tidak demikian perasaan si Bungsu.
Di antara puluhan mobil yang searah dengan taksi yang dia tumpangi, dia yakin ada satu mobil yang sengaja membuntuti taksi yang dia tompangi. Barangkali mobil berwarna merah darah yang berjalan persis setelah taksi ini. Atau barangkali taksi berwarna hitam di belakang mobil merah darah ini? Dia tak tahu dengan pasti. Namun dia ingin mengujinya.
“Berhenti dibawah pohon di depan sana…” katanya pada sopir taksi yang orang melayu. Mobil itu melambat. Kemudian berhenti.
Mobil merah darah itu lewat. Di dalamnya ada tiga orang lelaki. Tak satupun yang menoleh ke arahnya. Kemudian taksi hitam gelap itu juga lewat. Di dalamnya ada seorang Cina bertubuh gemuk. Kegemukannya jelas kelihatan pada wajahnya yang membengkak dan lehernya yang sebesar leher gergasi.
Cina gepuk itu juga tak menoleh padanya. Kemudian dia menoleh ke belakang. Tak ada mobil yang berhenti. Hmm, dia tak yakin.
“Terus…” katanya pada sopir. Dan dia tetap berkeyakinan ada bahaya mengintainya. Taksi itu berhenti di depan hotel Sam Kok. Sebuah hotel bertingkat dua dengan bangunan beton yang kokoh bekas bangunan di zamannya Rafles berkuasa.
Seorang gadis Cina cantik menerimanya dibahagian penerimaan tamu.
“Mau kamar tuan?” tanya gadis itu.
Si Bungsu mengangguk. Meletakkan koper kecilnya di atas meja resepsionis. Gadis Cina itu tersenyum manis padanya sambil mencatat dibuku tamunya. Senyumnya memperlihatkan dua buah lesung pipit di pipinya.
“Nah, mari saya antar. Kamar tuan di tingkat atas” gadis itu berkata sambil mengangkat koper si Bungsu.
“Tidak usah. Biar saya yang membawa koper ini…”
Gadis itu kembali tersenyum. Dan kembali lesung pipi dipipinya kelihatan. Dia melangkah mendahului si Bungsu. dan dia tetap juga dahulu ketika menaiki sebuah tangga batu menuju ke tingkat atas. Si Bungsu yang semula tak menyadari apa-apa karena fikirannya tengah melayang pada orang yang membuntutinya tadi, tak memperhatikan gadis itu.
Namun ketika dua tangga sudah terlangkahi tanpa sengaja dia menoleh ke atas. Gadis itu berada tiga anak tangga di depannya. Dan mukanya menjadi merah takkala terpandang pada betis dan paha gadis Cina itu.
Gadis bertubuh indah itu memakai rok yang tak begitu dalam. Si Bungsu cepat-cepat menundukkan kepala. Menatap anak tangga saja.
Dia seorang lelaki. Bujangan lagi. Betapapun imannya dia, namun dalam saat-saat tertentu, darahnya gemuruh juga melihat hal-hal demikian.
Namun tunduknya yang terus-terusan itu akhirnya membuat dirinya tambah jadi malu. Dia tak tahu gadis itu sudah berhenti. Dia masih melangkah. Gadis itu memutar tubuh menghadap. Dan saat itu si Bungsu menabraknya.
Celakanya, wajahnya justru mengenai wajah gadis Cina yang cantik itu. Dia gelapapan.
“Faam, fa….eh maaf, maaf sorry. Maaf sorry” katanya gugup. Sungguh mati kejadian itu benar-benar tak dia sengaja.
Gadis itu juga bersemu merah mukanya. Perlahan dia berbalik dan membuka pintu kamar.
“Silakan, ini kamar tuan” kata gadis itu sambil mendahului masuk. Si Bungsu menurut seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Gadis itu membuka jendela. Di depan sana, kelihatan laut membentang dan puluhan kapal berayun-ayun dimainkan ombak.
“Kalau panas, kipas angin ini bisa tuan hidupkan. Dan kalau tuan perlu sesuatu, tuan bisa menekan bel itu untuk memanggil pelayan. Untuk ke kamar mandi dan WC tuan terpkasa berjalan ke ujung gang di luar kamar. Tak ada kamar mandi khusus di dalam kamar di hotel ini…”



@



Tikam Samurai - 269