Si Bungsu kini tidak lagi tinggal di konsulat. Meski Konsul berkeras menahannya untuk tetap tinggal disana, namun anak muda ini berkeras pula untuk pindah.
“Kenapa tidak disini saja Uda tinggal?”
Salma bertanya ketika si Bungsu membenahi pakaiannya untuk pindah.
“Demi keamanan Nurdin dan kalian semua, Salma. Dokumen ini nampaknya mengundang bahaya. Kalau saya dan dokumen ini berada disini, saya bisa membayangkan bahwa akan ada saja orang yang akan berusaha mengambilnya dengan cara apapun. Saya tak mau kalian celaka karena ini. Biarkan saya mencari tempat lain. Dari sana saya bisa bebas bergerak”
“Kemana uda akan pindah?”
“Lebih baik engkay tak mengetahuinya Salma. Tapi percayalah, saya akan selalu kemari melihat kalian”.
Dia lalu melangkah ke pembaringan Nurdin. Overste itu sudah sadar dari dua hari yang lalu. Namun dia belum bisa bicara. Belum bisa mengingat apa-apa.
Memang benar apa yang dikatakan dokter dahulu. Bahwa diperlukan waktu yang amat panjang buat istirahat bagi Overste ini.
Si Bungsu menatap temannya itu dengan diam. Nurdin kelihatan menatap padanya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa dia mengenal mereka. Si Bungsu memegang tangannya.
“Saya harus pindah dari sini Nurdin. Demi keselamatanmu. Saya tak banyak mengerti tentang tugas-tugas spionase. Tapi saya akan berusaha sekuat mungkin, sebisa saya, untuk membongkat komplot jual beli wanita ini. Saya akan lanjutkan tugasmu” si Bungsu berkat perlahan. Meskipun dia tahu, ucapannya barangkali takkan dimengerti oleh Nurdin.
Salma menangis terisak. Nurdin menatap si Bungsu dengan diam.
Kemudian si Bungsu memutar tegak. Memandang pada Salma yang menangis terisak disisi pembaringan suaminya. Sementara Eka, gadis kecil mereka tetap tegak menatap disamping ibunya.
Dia tatap wanita itu. Perempuan yang pernah dia cintai sepenuh hati. Dia pegang bahunya.
“Tenangkan hatimu. Nurdin akan sembuh” lalu dia membungkuk. Mengangkat eka kegendongannya.
“Eka jaga ayah baik-baik ya..”
“Paman akan kemana?”
“Paman akan pindah kerumah teman..”
“Apakah kami tidak lagi teman paman?”
Jantung si Bungsu berdegup mendengar tanya gadis kecil ini.
“Kenapa tidak, Eka. Kita tetap berteman bukan?”
“Lalu, kenapa paman pergi?”
“Paman akan mencari orang yang menembak ayah Eka…”
Gadis kecil itu menoleh ke pembaringan ayahnya. Menatap ayahnya yang masih diam tak bergerak. Ketika dia menoleh pada si Bungsu, dimatanya kelihatan linangan air.
“Ayah Eka orang baik kan Paman..?”
“Ya. Ayah Eka orang baik…”
“Lalu, kenapa ada orang yang melukainya?”
“Yang melukai orang jahat..”
“Kenapa ayah tak membalas, bukankah ayah juga punya pistol?”
Si Bungsu hampir kehilangan jawab. Anak ini ternyata cerdas sekali.
“Ayah eka tak mau menyakiti orang, meskipun dia bisa berbuat begitu. Nah, karena orang itu jahat, biar paman yang mencarinya”
“Paman akan memukulnya?”
“Ya. Pasti. Paman pasti memukulnya”
“Jangan dipukul paman”
“Kenapa?”
“Dia telah melukai ayah. Orang itu harus pamai lukai pula. Paman bunuh saja, aya paman…”
“Ya…”
“Paman berjanji..?”
“Ya, paman berjanji”
“Akan membunuh orang yang melukai ayah?”
“Ya. Paman akan membunuhnya, percayalah”
Tanpa dia sadari, dia memang berjanji berbuat seperti yang diminta oleh gadis kecil itu.
“Terimakasih paman, terima kasih…” dan anak kecil itu mencium pipi si Bungsu. Yang kiri. Kemudian yang kanan.
“Paman akan sering melihat kami kemari bukan?”
“Ya, paman kan sering kemari”
“Eka dan ibu akan sunyi kalau paman tak kemari…ayah sakit dan tak bisa bermain dengan Eka…sering kemari ya paman…?”
Si Bungsu mengangguk berkali-kali. Kemudian mencium pipi gadis kecil itu. Lalu memberikannya pada Salma. Dan diapun berlalu.
@
Tikam Samurai - III