Tikam Samurai - 275

“Nehi. Nehii…” katanya sambil mundur. Dan pistol itu memang tak menyalak. Bos yang orang Inggris itu menatap ke arah si Keling. Si Keling yang merasa nyawanya selamat, memandang pada bosnya yang kelihatan memandang padanya dengan heran.
Keling itu juga jadi heran. Dan ikut-ikutan mengerutkan kening. Lalu melihat ke belakang, dan dia jadi kaget. Ternyata bosnya memandang kebelakangnya. Bukan pada dirinya. Di belakangnya, entah kapan datangnya, telah tegak seorang lelaki asing. Di tangan kirinya terpegang sebuah tongkat panjang. Orang asing itu masih muda. Dan keling ini bisa menerka, orang itu pastilah orang Melayu atau orang Indonesia. Dia menyingkir dari tempat tegaknya. Memberikan keleluasaan pada bosnya untuk menatap orang itu.
Keling itu bersukur atas kehadiran orang asing itu. Sebab dengan kehadirannya, nyawanya telah selamat. Meskipun untuk sementara. Dan orang asing itu tak lain daripada si Bungsu.
Kenapa dia  bisa hadir disana, dikandang singa itu? Padahal tadi dia berada di penginapan Sam Kok setelah ditempeleng dan jatuh bergulingan bersama gadis cantik anak pemilik hotel itu?
Ceritanya.
Semula dia ingin membuat perhitungan disana juga. Dia ingin membabat habis si gendut itu. Dia yakin, sekali dia mengayunkan tangan, ketiga samurai kecil itu akan melayang dan menyudahi nyawa si gendut. Tapi secara tiba-tiba ketika si gendut itu melambai dan mengucapkan bai-bai padanya di pintu hotel, sebuah pikiran lain menyelinap di kepalanya.
Kalau dia babat di hotel, maka dia takkan tahu dimana markas mereka. Lagipula dia takkan tahu siapa-siapa di belakang sindikat jualbeli perempuan ini. Makanya si Bungsu mengikuti si gendut dengan taksi.
Taksi si Bungsu berhenti di luar. Si Bungsu membayar sewanya. Dia sendiri lalu mencari jalan untuk bisa masuk. Rumah ini ternyata berpagar tinggi. Si Bungsu terpaksa memanjat pohon mahoni lalu melompat ke pagar, baru terjun ke halaman. Untung saja pengalaman di gunung Sago dahulu memudahkan pekerjaannya sekarang ini.
Dia lalu mengendap-endap ke dakt rumah tersebut. Sedan hitam itu dia lihat parkir di depan teras. Dan dari dalam terdenar suara orang bicara perlahan. Ketika dia akan mendekati lagi, dia dikejutkan oleh salak anjing. Ketika dia menoleh, anjing besar itu siap untuk menerkamnya. Tak ada jalan lain bagi anak muda ini selain mengayunkan tangan. Dan dua buah samurai kecil terbang dengan kecepatan kilat. Lalu menancap di leher anjing besar itu. Dan anjing itupun tamatlah riwayatnya. Gonggongannya yang dua kali itu sebenarnya adalah gonggong yang tadi terdengar oleh orang-orang yang ada dalam rumah tersebut.
Tapi karena saat itu si Belanda tengah bertarung dengan Cina gendut itu, maka gonggongan tersebut tak diacuhkan. Kalau saja mereka memperhatikan gonggongannya, dan melihat keluar, mungkin si Bungsu takkan sempat masuk rumah. Dan si Bungsu masih sempat mengintai perkelahian serua antara si Belanda dengan si Cina lewat kaca jendela. Dia merasa negri juga melihat pertarungan itu berlangsung. Kalau saja dia yang dipagut Cina gendut itu, maka dia yakin nyawanya sudah melayang dengan seluruh tulang ditubuhnya patah-patah. Dan bulu tengkuknya berdiri semua melihat Belanda itu menyudahi nyawa si Cina gendut.
Hih, ini memang bukan pekerjaan main-main pikirnya. Dan dia masuk ketika si Keling kena ancam dikala tak berhasil menyeret mayat Cina gendut itu. Dan kini, orang Inggris yang tak berbaju itu melihat kedatangan anak muda tersebut dengan heran. Kenapa orang asing ini bisa masuk, kemana si Bleki, anjing besar itu, pikirnya.
Dia bersiul. Siulnya melengking tinggi. Siulnya memanggil anjingnya. Namun anjing itu memang sudah mati kok. Tentu saja tak pernah datang.
Bos itu memberi isyarat pada si Keling. Dan seperti seekor anjing pula, si Keling itu berlalri ke luar. Dan di halaman, dekat pohon pinang merah, dia melihat anjing itu ditidurkan malaikat maut. Darah mengenang dekat lehernya. Dia berlari lagi masuk.
“Mati…” katanya.
Orang inggir itu menatap pada si Bungsu.
“Kamu bunuh anjing itu he?” suara sengau seperti suara kepinding terdengar dari mulut orang Inggirs itu.
“Tidak. Saya tak minta izin padanya untuk masuk kemari. Dia lalu bunuh diri…” si Bungsu menjawab seenaknya.
Inggris itu mengeluarkan suara menggeram. Namun dia suka juga mnedengar guyon anak muda ini
“Nah, kalau begitu, engkau harus minta izin pada anjing yang satu ini….” Inggris itu menunjuk pada si Keling.
Dan bagi si Keling, ini adalah perintah untuknya. Perintah untuk menyudahi nyawa anak muda itu. Dan perintah itu sekaligus juga sebagai keringanan hukuman baginya. Artinya, kalau saja dia bisa menyudahi anak muda ini, maka nyawanya akan bisa pula selamat.



@



Tikam Samurai - 275