Tikam Samurai - 285

Si Bungsu mengulangi membaca dokumen itu berkali-kali di hotenya. Dia coba mencari petunjuk meski amat kecil sekalipun tentang keterlibatan orang di konsulat itu. Namun usahanya sia-sia.
Dalam dokumen itu hanya ada beberapa nama orang Melayu, Inggris, Keling dan Cina. Namun alamat mereka tak tertera jelas. Empat orang diantara mereka telah mati. Yaitu Cina gemuk seperti kerbau dan orang Inggris yang mati dimarkasnya empat hari yang lalu.
Lelah mencari petunjuk itu, si Bungsu akhirnya memutuskan untuk mengintai gedung konsulat Indonesia itu malam ini. Siapa tahu, malam ini ada lagi orang yang berniat datang ke sana seperti malam sebelumnya.
Tak begitu sulit baginya untuk menemukan lorong di belakang gedung konsulat itu.
Di mulut lorong itu dia melihat seorang Melayu tengah menyapu jalan. Orang itu memakai topi lebar dari bambu, dengan baju dinas berwarna biru. Si Bungsu melewati orang itu.
Berjalan terus ke lorong yang cukup untuk dilewati sebuah sedan.
Tiba-tiba dia melihat sebuah gudang kosong. Dia masuk kesana. Lalu bersiul panjang. Tukang sapu itu menoleh. Si Bungsu melambainya. Tukang sapu itu datang.
“encik mau apak…?” tanyanya.
“Di dalam sana ada perempuan cantik tidur..” si Bungsu berkata sambil menunjuk ke dalam. Tukang sapu itu mengerutkan kening. Kemudian berjalan ke arah yang ditunjukkan si Bungsu.
Sampai di dalam dia mencari-cari. Tapi tak seorangpun yang dia lihat. Usahkan perempuan cantik, cacingpun tak ada yang tidur disana. Merasa dipermainkan, dia lalu menoleh pada si Bungsu.
“Hei, encik jangan main-main ya. Mana perempuan cantek yang encik katakan itu…”
Si Bungsu yang tegak sedepa darinya hanya tersenyum.
“Jangan senyum-senyumlah…” bentaknya berang.
Namun berangnya hanya sampai disitu. Sebab sebuah pukulan dengan sisi tangan tiba-tiba mendarat di tengkuknya.  Tukang sapu itu melosoh jatuh.
“Maaf kawan. Saya ingin meminjam pakaianmu. Jadi engkau harus jadi perempuan cantik itu. Tidur disini…” si Bungsu berguman sendiri sambil membukai pakaian dinas tukang sapu itu.
Kemudian tukang sapu itu dia ikat. Nah, kini dia mirip tukang sapu dengan segenap peralatannya. Dengan pakaian itu, dia bebas berada di lorong tersebut. Dia berjalan terus hingga melewati belakang gedung konsulat. Dia meliaht jendela yang pecah itu kini telah diganti kacanya.
Dan dia melihat pula, bahwa gedung itu memang mudah untuk dipanjat dari belakang ini. Modelnya yang kuno, yang banyak variasi jendelanya, banyak bendul dan bahagian-bahagian yang menonjol membuat gedung itu mudah untuk dinaiki tanpa tangga pembantu. Artinya mudah bagi kaum pencuri.
Si Bungsu meneruskan langkahnya sambil sekali-sekali melayangkan sapunya ke sampah yang ada dilorong itu.
Seratus meter dari gedung konsulat itu lorong tadi tembus ke jalan besar. Jadi dari ujung dia masuk tadi ada jarak lima puluh meter baru sampai ke konsulat. Kemudian seratus meter dari konsulat sampai pula ke jalan besar.
Lorong ini merupakan jalan pintas dan bahagian belakang dari gedung-gedung besar lagi kuno yang ada di daerah itu. Merasa sudah cukup mengenal situasi. Si Bungsu balik lagi ke gedung kosong dimana tukang sapu tadi dia pukul sampai pingsan.
Tukang sapu itu masih meringkuk dengan kaki dan tangan terikat.
Tapi ternyata orang ini tidak pingsan lagi. Hal itu segera diketahui oleh si Bungsu lewat suara dengkurnya yang berirama.
Ternyata pingsannya dia sambung dengan tidur lelap. Mungkin karena lelah bekerja, makanya tukang sapu ini tertidur.
Dia luar gedung, hari berangkat gelap. Begitu lampu-lampu mulai menyala, si Bungsu segera keluar gedung itu.
Dia memperhatikan lorong belakang itu dari ujung ke ujung sepi.
Apakah akan ada orang datang malam ini? Firasatnya mengatakan ada! Cuma dia ragy, apakah orang itu akan datang lewat pintu belakang ini atau lewat…
Dia seperti tersentak. Lewat pintu depan, pikirnya. Ya, kalau benar ada orang konsulat yang terlibat dalam sindikat ini, maka bukannya tak mustahil bahwa orang yang akan membunuh Overste Nurdin itu masuk dari pintu depan.
Karena bukankah orang dalam, yaitu pegawai konsulat takkan dicurigai untuk masuk?
Dia mendekati dinding belakang itu. Kemudian tak begitu sulit baginya untuk memanjat dinding itu ketingkat dua dimana Nurdin masih terbaring.
Dia sampai ke jendela ditingkat dua itu. Mengintip ke dalam. Di dalam di bawah penerangan lampu neon kelihatan Salma duduk menyuapi suaminya. Disisinya, diatas sebuah kursi, duduk Eka, gadis kecil mereka. Sebelah tangan Nurdin membelai kepala anaknya itu. Sementara mulutnya tetap melulur perlahan bubur yang disuapkan oleh isterinya.



@



Tikam Samurai - 285