Dia masih menunggu sesaat ketika tiba-tiba dia lihat Salma menoleh ke pintu. Nampaknya ada yang mengetuk pintu. Sebelum Salma berdiri, pintu kamar itu terbuka. Dan tiba-tiba saja muncul dua orang lelaki.
Yang satu tak lain daripada Polisi Singapura yang siang tadi bertugas menjaga di depan konsulat. Dan polisi ini menodongkan pistolnya ke arah Overste Nurdin yang terbaring itu begitu dia masuk ke kamar tersebut.
Disamping Polisi ini, adalah seorang lelaki yang dikenal si Bungsu sebagai seorang staf konsulat! Ya, dia adalh orang Indonesia yang menduduki tempat penting pada staf konsulat itu.
Lelaki itu tersenyum. Kedua tangannya berada dalam kantong. Senyumnya lebih mirip seringai.
“Tetap sajalah duduk di sana tenang-tenang nyonya…” lelaki itu bicara sopan dan masih tersenyum pada Salma yang akan bangkit. Suaranya terdengar perlahan ketelinga si Bungsu.
Salma bukan main kagetnya melihat kejadian ini. Sebab dia tahu benar lelaki ini Staf Konsulat, teman sejawat suaminya.
Akan halnya Nurdin yang terbaring sakit itu tetap saja bersikap tenang. Dia mengunyah makanan dalam mulutnya perlahan.
“Selamat malam Overste…” lelaki itu berkata dengan senyum tetap menghias bibirnya.
“Selamat malam…” jawab Nurdin.
“Hmm, nampaknya anda tak terkejut dengan kehadiran saya….” Staf konsulat itu berkata. Nurdin tak segera menjawab. Dia meminta air pada isterinya. Minum beberapa teguk. Lalu kembali menatap pada rekannya itu.
“Kenapa saya harus terkejut. Saya sudah menduga anda terlibat dalam sindikat ini. Lagipula dalam sebuah negeri penghianat-penghianat merupakan kejadian yang lumrah…”
Muka lelaki itu jadi merah. Senyumnya lenyap. Namun dia masih tetap tegak di tempatnya. “Saya datang untuk menawarkan kerjasama Overste…”
“Hmm, menarik juga. Kerjasama bagaimana…?”
“Anda ikut dalam sindikat kami. Dan anda akan mendapat perlindungan berikut seluruh keluarga anda. Itu dari segi keamanan . dari segi materi anda dapat memiliki apa saja. Dari segi jabatan, anda bisa kami angkat menjadi Panglima Tentara di Indonesia..”
“Tawaran yang menarik. Tapi anda mempergunakan kalimat “kami”. Siapa yang lainnya?”
“Itu akan overste ketahui kelak”
“Bagaimana kalau saya tak mau..”
“Tak soal. Anda bisa memilih. Dan kami tinggal melaksanakan pilihan anda itu. Kalau anda menerima, maka serahkan dokumen yang anda susun itu pada kami, dan anda akan menerima imbalan sesuai dengan yang saya ucapkan tadi. Kalau anda tak mau menerima, maka anda tak perlu susah-susah lagi bekerja. Kami datang untuk menyudahi hidup anda..”
Salma jadi pucat. Dia memeluk anaknya. Pembicaraan kedua lelaki itu nampaknya biasa-biasa saja. Namun siapapun bisa mengetahui, bahwa pembicaraan mereka adalah mengenai soal hidup atau mati. Soal sebuah sindikat dan sebuah negara.
Si Bungsu masih tetap diam bergelantungan di luar jendela. Dia ingin tahu apa kelanjutannya. Kini jelas olehnya “orang dalam” yang terlibat dalam sindikat perdagangan wanita ini. Hanya dia ingin melihat bagaimana Nurdin keluar dari saat yang genting ini. Sementara Polisi Singapura itu tetap saja menodongkan pistolnya ke arah Nurdin.
Sementara itu Nurdin bicara lagi.
“Kalaupun saya anda bunuh, namun anda takkan pernah mendapatkan dokumen itu. Dan anda takkan pernah selamat. Saya sudah mengirimkan nama anda ke Jakarta….”
Lelaki itu tertawa perlahan.
“Apa artinya bagi saya pengiriman nama itu ke Jakarta. Di Jakarta laporan anda itu akan diterima oleh teman saya. Dan kalaupun jatuh ketangan orang lain, saya juga tak usah khawatir. Saya tak perlu kembali ke Indonesia. Seluruh keluarga saya…”
“Sudah di Tiongkok…” overste Nurdin memutus ucapannya.
“Hmm, anda mempunyai pengamatan yang tajam juga…”
“Ah. Siapapun akan bisa menebak, bahwa anda adalah orang Komunis. Setelah gagal dengan pemberontakan Madiun kalian menyelusup ke seluruh departemen…”
Lelaki itu tertawa lagi.
“Bukankah itu suatu bukti, bahwa pemerintah berada di pihak kami? Buktinya, meski kami telah memberontak, kami diterima lagi Departemen-departemen. Bahkan menduduki posisi kunci. Nah, kita tak usah berpanjang lebar lagi Overste… kini serahkan dokumen itu dan bekerja sama dengan kami, atau kalian bertiga kami sudahi di sini..”
Lelaki itu mengeluarkan tangannya yang sejak tadi tersimpan dalam kantong celananya. Dan kalau tadi dia selalu tersenyum ramah, kini wajah aslinya kelihatan. Mukanya berkerut masam.
“Tak satupun yang akan anda peroleh…” jawab overste itu tenang. Sementara tangan kananya tetap membelai kepala anaknya yang berada dipangkuan isterinya.
@
Tikam Samurai - III