“Kami tidak main-main Overste…” berkata begini, tangannya segera merenggutkan tangan Salma. Perempuan itu tertegak oleh renggutan kasar itu.
“Hajar dia..!” kata lelaki itu pada Polisi Singapura yang nampaknya merupakan bahagian dari sindikat itu.
Polisi itu maju setapak dan bersiap menarik picu pistolnya. Si Bungsu sudah menggebrak kaca jendela, ketika tiba-tiba terdengar letusan. Terlambat, pikirnya. Dan seiring dengan letusan itu tubuhnya menghantam kaca jendela. Hanya beberapa detik, dia sudah tegak dalam kamar itu. Dan tangannya yang telah menggenggam dua samurai kecil terayun.
Namun gerakannya terhenti. Dia melihat Polisi Singapura itu rubuh dengan dada berlumur darah. Sementara staf konsulat yang tadi menyentakkan tangan Salma tegak kaget memandang ke jendela dan juga pada Overste Nurdin.
Lalu tiba-tiba tangannya bergerak ke balik jasnya. Sepucuk pistol kecil muncul dan sebuah letusan lagi bergema. Gema letusan itu berasal dari bawah selimut overste Nurdin. Staf konsulat itu terputar. Bahunya dihantam peluru. Dan ketika Nurdin mengeluarkan tangan kirinya, dia menggenggam sebuah revolver enam silinder.
Si Bungsu masih tetap tegak diam. Nurdin teranyata berhasil keuar dari saat kritis itu dengan baik.
Nurdin dan si Bungsu bertatapan. Kemudian overste itu tersenyum.
“Terimakasih. Anda telah menjaga diriku dari balik jendela kaca itu…” kata Nurdin sambil tersenyum.
Si Bungsu tak sempat menjawab, sebab Salma dan gadis kecilnya telah memeluk Nurdin. Lalu saat itu pintu terbuka. Dan dipintu tegak Konsul Indonesia bersama tiga orang petugas keamanan.
“Saya dilaporkan ada tembakan disini…” kata konsul itu.
“Ya. Dan yang kena tembak adalah dia. Yang menembak saya…” Nurdin berkata sambil menunjuk pada staf konsulat yang saat itu tengah duduk dilantai. Bersandar kedinding sambil memegang bahunya mengalirkan darah.
Konsul itu menatap pada stafnya itu. Lalu menatap pula pada Nurdin.
“Ya. Dialah orangnya…” kata Nurdin.
Konsul itu melihat pada staf seniornya itu dengan berang.
“Komunis jahanam! Kau akan mendapat ganjaran, laknat!” kemudian memerintahkan untuk mengangkat mayat polisi singapura itu. Menyerahkannya pada pihak penguasa disertai laporan lengkap tentang sindikat perdagangan wanita tersebut. Sementara staf senior konsulat Indonesia itu dijebloskan ke dalam tahanan.
Nampaknya Nurdin telah meporkan soal sindikat itu pada Konsul. Namun satu hal yang pasti. Nurdin tetap tak pernah mengatakan soal dokumen yang ada pada si Bungsu.
“Engkau harus ke Jakarta Bungsu. saya punya firasat bahwa apa yang dikatakan staf senior konsulat itu memang benar. Bahwa setiap laporan tentang sindikat yang saya kirim ke Jakarta, jatuh ketangan komplotan itu sendiri. Artinya, di departemen yang menangani kasu ini juga terdapat orang-orang Komunis yang menjadi dalang sindikat ini di Indonesia.
Karena itu engkau berangkat ke sana. Meski pun saya sembuh, namun saya tak bisa bertindak drastis. Ada peraturan yang harus saya taati sebagai seorang militer. Tapi sebaliknya saya tak ingin mengampuni sindikat perdagangan wanita ini. Dan saya tak mau toleransi pada Komunis. Keduanya, sindikat dan Komunis itu sama jahanamnya. Mereka telah gagal dalam pemberontakan di Madiun. Namun saya yakin, suatu saat nanti, cepat atau lambat, mereka akan memberontak lagi. Mungkin korban yang jatuh akan lebih banyak. Bagi mereka menjual wanita, membunuh orang tak ada artinya sama sekali. Mereka tak mengenal Tuhan.
Saya ingin mereka dibunuh saja semua. Bayangkan betapa menderitanya sanak famili dari perempuan-perempuan yang dijual oleh sindikat itu. Saya tak tahu dengan pasti berapa orang sudah perempuan dari Indonesia yang berhasil metreka bujuk dan mereka jual sampai ke Eropah sana untuk dijadikan penghuni rumah lacur. Namun menurut catatan selama saya bertugas disini, tak kurang dari seratus wanita telah dibawa dari Indonesia.
Sindikat ini harus digulung. Anggotanya harus dibunuh. Ya, itu nhukuman yang patut buat mereka. Namun saya tak bisa melaksanakan itu. Makanya engkau yang saya minta Bungsu…”
Si Bungsu duduk dengan diam disisi pembaringan Nurdin. Mendengarkan ucapan Overste itu dengan tenang. Pembicaraan itu sepekan setelah penembakan terhadap staf senior konsulat itu.
Si Bungsu tak segera bisa memberikan jawab atas permintaan Nurdin. Sebab dihatinya semula telah ada rencana untuk pulang ke kampungnya. Dia terlalu rindu pada harumnya bau padi dan bunga jagung. Dia rindu pada kesejukan angin yang bertiup dari kaki Gunung Sago.
Ah, siapa yang takkan rindu pada kampung halamannya? Siapa yang takkan rindu pada kampung dimana mereka berlarian mengejar layang-layang sewaktu kecil. Mengendap-endap mengintai burung balam. Bermain dan berlari di jalan yang membelah kampung. Meskipun jalan kampung tak pernah diaspal, namun kerinduan padanya tak pernah padam.
@
Tikam Samurai - III