Tikam Samurai - 289

Tak dinyana, kedua orang ini ternyata menaruh denadam. Dendam karena teman mereka dibunuh. Dan dendam karena kerampang mereka kena tendang.
Kedua lelaki itu memencar. Yang satu berada dibahagian kiri. Yang satu dibahagian kanan. Jarak antara mereka ada sekitar empat depa. Dan jarak masing-masing mereka dengan si Bungsu yang masih tegak di tempat tidur itu sekitar tiga depa lebih.
Dengan demikian mereka menghindarkan diri dari kena serangan yang amat cepat. Mereka bukannya tak yakin bahwa anak muda ini seorang pelempar yang cepat. Itu sudah dibuktika dengan kematian teman mereka di hotel dulu.
Demikian cepatnya kejadian itu. Mereka tak melihat bagaimana anak muda itu mencabut dan melemparkan samurainya. Itulah sebabnya kini mereka bertindak hati-hati. Dan dengan tegak agak terpisah satu dengan yang lain dalam jarak yang empat depa itu, mereka yakin akan susah diserang sekaligus.
Anak muda itu harus membuat dua gerakan. Dan harus berputar untuk menyerang mereka berdua.
Sementara itu, si Bungsu yang mendengar tantangan lelaki Australia itu, menarik nafas. Lalu suaranya terdengar perlahan.
“Saya rasa tak ada gunanya perkelahian ini…”
“Babi! Tak ada gunanya katamu, setelah teman kami engkau bunuh, setelah perlakuanmu terhadap diri kami di hotel itu?”
“Saya berharap hal itu bisa berakhir. Dan saya bersedia minta maaf pada tuan-tuan…”
Kedua orang Australia itu berpandangan. Namun mereka tetap tegak dengan kaki terpentang dan tangan memegang ujung pisau komando.
“Apakah engkau takut melihat pisau kami anak muda?”
Si Bungsu tersenyum lembut. Menatap ke pisau di tangan kedua bekas pasukan Komando itu.
“Ambillah pisaumu. Mari kita pertahankan nyawa kita sebagai seorang jantan…” suara tentara Asutralia itu kembali terdengar menantang.
“Maafkan saya. Saya tak bermaksud meremehkan kalian berdua. Saya yakin tuan-tuan sangat cepat mempergunakan pisau Komando itu. Cepat menurut ukuran tentara…”
Kedua bekas tentara sekutu itu tak begitu faham dengan ucapan si Bungsu. namun mereka tetap tegak dengan waspada.
“Saya menantang anada untuk mempertahankan nyawa dengan kecepatan melemparkan pisau anak muda…” lelaki yang berada di sebelah kanannya berkata.
Si Bungsu menggerakkan tangan kananya perlahan. Suatu gerakan yang benar-benar tak mencurigakan kedua bekas tentara sekutu itu. Demikian pula tangan kirinya. Sistim menjepitkan samurai di kedua tangannya itu dibuat sedemikian rupa menurut petunjuk Tokugawa. Sehingga ikatannya seperti bersatu dengan saraf. Bisa diatur kapan meluncur turun meski dengan gerakkan yang amat halus. Sebaliknya, meski dengan gerakan kuat seperti memukul misalnya, jika tidak dikehendaki, samurai itu takkan lepas.
Sistim ini sulit diuraikan menurut ilmu logika atau menurut sistim simpul buhul. Namun bagi orang-orang yang mahir mempergunakan pisau, semacam senjata rahasia di Tiongkok, atau samurai kecil di Jepang, sistim itu mudah dimengerti. Meski tak mudah mempergunakannya. Sebab untuk mempergunakannya diperlukan latihan dan kemahiran yang jarang orang bisa mencapainya.
Si Bungsu masuk yang beruntung dan menguasai pada taraf sangat mahir.
Kini, tanpa diketahui oleh kedua bekas tentara sekutu itu, anak muda itu telah memegang dua buah samurai. Masing-masing ditiap tangannya. Dan kedua bilah samurai itu terlindung dari penglihatan kedua tentara sekutu itu oleh punggung tangannya. Hulunya berada di pergelangan, sementara ujungnya terjepit antara jari tengah dan jari telunjuk.
“Bagaimana caranya tuan menghendaki pertarungan ini berlangsung?” si Bungsu bertanya perlahan.
“Engkau dapat melempar pisaumu pada kami setiap saat engkau suka, dan kami akan menandinginginya dengan kecepatan…”
Demikian yakinnya kedua tentara itu akan kemahiran mereka. Mereka memang mendapat brefet pelempar pisau komando. Dan kini mereka mempraktekkannya pada anak muda ini.
“Setiap saat saya suka?” tanya si Bungsu.
“Ya. Setiap saat…” yang dikiri si Bungsu berkata sambil matanya waspada melihat tangan si Bungsu. si Bungsu mengangkat kedua tangannya. Kedua tentara itu jadi tegang dan amat waspada. Tapi si Bungsu ternyata hanya menyisir rambutnya dengan kesepuluh jari tangannya. Lalu menurunkan tangannya kembali.
Kedua bekas tentara itu menatap tajam pada si Bungsu. ada suara berdetak perlahan disisi mereka. Namun mereka tak mau menoleh. Sebab tak mau kehilangan pengawasan dari anak muda yang masih tegak di pembaringan itu.
“Mulailah..” suara orang Autralia yang dikanan bergema. Sementara pisau komandonya sudah siap sejak tadi.
“Maafkan saya. Anda telah kalah…” kata si Bungsu. kedua tentara itu menatap tajam padanya.
“Apa yang anda maksudkan bahwa kami telah kalah?”



@



Tikam Samurai - 289