Tikam Samurai - 290

“Ya. Kalau saya mau, tuan berdua sudah mati seperti teman tuan di hotel itu. Mati dengan samurai menancap di antara dua mata, atau menancap persis di jantung…”
Kedua tentara itu tersenyum tipis.
“Anda punya mental yang cukup tangguh anak muda. Tapi kalau anda bermaksud  menggertak, maka bukan kami orangnya…”
“Saya tidak menggertak. Lihatlah ke lantai. Di antara kedua sepatu tuan…”
Tanpa dapat ditahan, kedua mereka melihat ke bawah. Dan demi Yesus yang mereka agungkan, mereka hampir tak percaya.
Betapa mereka akan percaya, kalau diantara kedua kaki mereka kini tertancap sebilah samurai kecil hingga hampir separoh tertanam di lantai?
Mereka tak melihat bila anak muda itu melemparkannya. Apakah sudah sejak tadi samurai itu ada di sana, dan mereka tak melihatnya? Mustahil. Mereka melihat lagi pada si Bungsu.
Dan saat itu tangan anak muda itu bergerak perlahan.
“Kini ada dua samurai diantara kaki tuan…” katanya perlahan. Dan kedua mereka melihat lagi. Dan demi Tuhan, ya Nabi dan ya Malaikat! Memang benar ada dua samurai kecil diantara kaki mereka!
Mereka menatap pada si Bungsu. si Bungsu mengangkat tangan kanannya. Membuka lengan bajunya. Dan disana nampak sebuah samurai tersisip.
“Jika saya mau, tak terlalu sulit untuk membunuh tuan. Tapi apakah itu ada gunanya?”
Si Bungsu berkata perlahan. Dan kedua bekas tentara itu segera sadar, bahwa mereka berhadapan dengan seorang lelaki yang ketangguhannya melempar pisau ada puluhan, barangkali ratusan lebih cepat dan lebih mahir dari diri mereka yang sudah termasuk jagoan di pasukan komando dahulu.
Anak muda ini tidak membual ketika berkata bahwa dia sanggup membunuh mereka dengan mudah. Buktinya, sama sekali mereka tidak melihat bagaimana caranya anak muda ini melemparkan pisaunya. Tahu-tahu telah tertancap saja!
Mereka berpandangan satu dengan yang lain. Muka mereka jelas sebentar pucat sebentar merah.
Kini anak muda itu tegak menatap pada mereka dengan tenang. Dengan kedua tangan tergantung disisi tubuhnya. Dan tangan itu, kalau dia mau, memang sanggup menyebar maut. Diam-diam kedua bekas tentara Australia itu pada merinding bulu tengkuknya.
Tapi, yang seorang lagi, yang berdiri di bahagian kiri si Bungsu, tetap saja merasa kurang puas. Dia bergerak ke arah meja. Di meja itu terletak gelas, piring dan bekas kaleng minuman.
Dia memungut kaleng minuman yang telah kosong itu. Lalu berjalan ke sudut ruangan. Menyeret sebuah kursi kesana. Kemudian meletakkan kaleng bekas itu di kursi tersebut.
Dan dia tegak lagi ketempatnya semula. Si Bungsu menatap saja dengan diam.
“Nah, anak muda. Kini kita buktikan siapa yang lebih cepat mempergunakan pisau. Engkau atau kami. Jarak antara kaleng itu dengan ketiga kita, sama-sama sekitar empat depa. Pisau saya bertanda merah. Pisau teman saya kuning hulunya. Dan samurai kecilmu jelas berbeda dengan milik kami. Saya akan melemparkan kotak korek api ke atas. Ebgitu kotak itu jatuh di lantai, kita lempar kaleng itu dengan pisau. Yang dituju adalah lingkaran huruf O yang ada di tenagh kaleng itu. Dengan demikian kita akan ketahui siapa yang cepat..”
Bekas tentara itu memandang pada temannya. Temannya mengangguk. Kemudian mereka sama-sama memandang pada si Bungsu. si Bungsu masih diam. Dia bukannya tak tahu, banyak orang-orang yang licik.
Apakah tak mungkin ini adalah suatu jebakan? Apakah tak mungkin, disaat dia melemparkan kaleng bekas minumannya itu dengan pisau, saat itu pula kedua bekas tentara itu melemparkan pisaunya. Tapi bukan ke arah kaleng, melainkan kearah dirinya!
Itulah sebabnya dia memandang saja dengan diam dan tak segera menjawab tantangan itu. Dan barangkali kedua bekas tentara itu mengerti jalan pikirannya.
“Jangan khawatir anak muda. Kami takkan berbuat curang. Yang punya sifat curang biasanya adalah kalian, orang-orang Melayu. Kami menjungjung tinggi nilai-nilai sportif. Kami tahu engkau cepat dengan pisaumu. Dan kalau kau mau, kau bisa menghabisi kami sejak tadi. Nah, kami menghargai sikapmu itu. Kini kami ingin menguji sampai dimana ketangguhan kami sebagai bekas tentara komando. Yang amat mahir mempergunakan pisau. Kami ingin membandingkan dengan dirimu…”
Kembali si Bungsu menarik nafas panjang.
“Baiklah, kalau itu yang tuan-tuan kehendaki” akhirnya dia berkata.
Yang meletakkan kaleng bekas minuman tadi segera merogoh kantong dengan tangan kirinya. Dari dalam kantongnya dia mengeluarkan kotak korek apai.
“Siap?” tanyanya. Temannya mengangguk. Si Bungsu juga mengangguk perlahan. Kedua bekas serdadu itu bersiap. Tangan kanan mereka yang memegang hulu pisau komando itu tadi mengeras. Sementara tangan si Bungsu melemas. Sebuah gerakkan kecil lengan kanannya membuat samurai terakhir di sebelah kanan itu meluncur turun.
Korek api itu dilambungkan keatas. Ujung-ujung jari si Bungsu menjepit ujung samurai kecil yang meluncur dari lengannya.



@



Tikam Samurai - 290