“Main apa waang bisa?” lelaki itu balik bertanya.
“Main apa saja!” jawabnya, pasti.
“Koa?”
“Boleh!”
“Dadu?”
“Boleh!”
“Barambuang?”
“Boleh. Sembaranglah!”
Lelaki itu kembali menatap tiga temannya. Dan kembali yang mengerdip tadi mengerdipkan sebelah matanya yang juling.
“Wang dengan siapa?”
”Saya berjudi tak pernah berkawan. Saya bisa main sendiri, dan ….menang !”.
Lelaki yang puntung rokoknya dibuang itu menelan ludah. Dia menatap anak muda itu. Memperhatikannya dengan seksama. Melihat buku jarinya. Melihat sikunya. Melihat kakinya. Dan dia menduga bahwa anak ini pasti seorang pesilat. Tapi dia juga yakin, bahwa dengan berempat mereka bisa “memakan” anak ini. Mereka toh juga bukan orang sembarangan.
”Di mana tempatnya?”
“Terserah”
“Kami bukan orang sini. Kami tak tahu di mana tempat bermain yang baik. . .”
“Saya tahu . . .”
“Di mana . . .”
“Si surau usang di hilir kampung sana. . .”
“Tempat guru mengaji diterkam harimau itu?”
Kini anak muda itu pula yang balas menatap lelaki itu.
“Kenapa tahu bahwa di surau itu dulu ada guru mengaji yang diterkam harimau, kalau memang bukan orang sini?”
“Kejadian itu sudah lama bukan? Setiap orang di pasar Jumat ini bercerita tentang kejadian itu beberapa tahun yang lalu”
Anak muda itu menarik nafas.
“Benar! Di sanalah tempat main yang aman. Bagaimana, berani ke sana ?”
Untuk pertama kalinya, keempat lelaki itu tertawa bersamaan. Tertawa mendengar tantangan anak muda ini.
“Tak ada yang ditakuti oleh Baribeh dan kawan kawannya buyung. . .”
Lelaki juling yang tadi mengerdip berkata.
“Baribeh?”
“Ya. Waang tak pernah mendengarnya?”
“Pernah. Baribeh itu binatang”
Si Juling terdiam. Yang lain juga. Lelaki yang tadi puntung rokoknya dibuang itu jadi kelabu mukanya karena menahan berang.
“Jangan sembarang bicara buyung. Mulut waang bisa saya sobek,” ujar lelaki itu dengan suara berat.
“He, bukankah Baribeh itu memang binatang? Dan kerjanya memang tukang sobek pohon Kampeh untuk mendapatkan getahnya, kanapa Sanak mesti marah?”
Lelaki itu bangkit dan hampir saja menerjang anak muda itu kalau tak cepat dilerai oleh si Juling. Si Juling berbisik ke telinganya. Dan lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melanyau anak muda itu. Kemudian si Juling memutar tubuh. Bicara pada anak muda itu.
“Lebih baik waang hati-hati buyung. Tuan kami ini adalah pesilat yang bergelar Baribeh. Kerjanya memang merobek mulut orang-orang sombong seperti waang. Untung dia berbaik hati kali ini. Nah, kapan permainan bisa dimulai?”
“Terserah. Sekarangpun jadi. Tapi harap diingat, saya hanya menantang sanak untuk berjudi. Bukan untuk berkelahi . . .”
“Baik, baik!. Tapi siang ini kami ada urusan. Bagaimana kalau senja nanti?”
”Tengah malampun saya mau. Saya tunggu kalian disana”.
Dan tanpa menoleh lagi anak muda ini berlalu.
”Pukimaknya!. Anak siapa dia makanya berani jual lagak begitu…,” maki lelaki yang tadi dibuang puntung rokoknya itu.
“Nampaknya dia cukup berisi. Kalau tidak mana dia berani berbuat seperti itu”.
“Berisi tak berisi, yang jelas dia punya banyak uang. Malam ini kita sudahi dia. Hei, waang siapkan dadu dua pasang Jul”.
“Dadu itu selalu saya bawa..” jawab lelaki yang dipanggil Jul itu.
Panggilan itu ternyata singkatan dari kata ”Juling”. Lalu, persis ketika azan magrib berkumandang, mereka muncul di surau usang itu. Di sana anak muda tadi telah menanti. Di bawah cahaya lampu damar yang ada di bekas surau itu mereka segera memulai permainan.
Mula-mula mereka main dadu. Dadu itu sudah disiapkan oleh si Jul. Biasanya mereka tidak pernah kalah. Sebab dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa, hingga apa saja yang dipasang lawan, pasti bisa diputar letaknya hingga tidak tertebak. Cara memutar dadu itupun dengan lihai dilakukan oleh si Jul yang Juling itu. Kelihatannya hampir-hampir sempurna.
@
I. Tikam Samurai