Perang saudara ini sama-sama tidak dikehendaki. Baik oleh PRRI maupun tentara Pusat. Cuma sudah kadung terlanjur, kami dengar kabarnya sudah ada usulan kepada Presiden Soekarno untuk secepatnya mengeluarkan amnesti bagi anggota PRRI yang meletakkan senjata. Nah, informasi ini saya peroleh dari sumber-sumber itu. Dari orang-orang yang merasa Sanak adalah sahabat mereka, disampaikan kepada tentara APRI yang juga merasa Sanak adalah sahabat mereka pula..”
“Terimakasih atas informasi yang sanak sampaikan..” ujar si Bungsu perlahan.
“Sanak sahabat kami dan semua pihak, karenanya kami senang bisa membantu..”
“Terimakasih..” ujar si Bungsu, masih dalam nada perlahan dengan tatapan mata menerawang ke hamparan sawah di depan rumah sakit tersebut.
“Saya juga mendapat informasi bahwa Sanak akan ke Bukittinggi, menemui Overste Nurdin yang mertuanya mati tertembak di Bukittinggi..”
Si Bungsu menatap kapten itu. Tak cukup banyak orang yang tahu maksud kepergiannya bersama Michiko ke Bukittinggi, kini kapten ini ternyata telah mengetahuinya.
“Selain sahabat semua orang, Sanak juga orang penting bagi kami maupun PRRI. Karena itu jangan kaget kalau kemanapun Sanak akan ada yang secara diam-diam mengikuti. Mungkin diikuti secara beranting. Samasekali tidak bermaksud mencampuri urusan Sanak, tapi semata-mata menjaga keselamatan Sanak. Baik tentara Pusat maupun orang-orang PRRI amat rugi kalau terjadi malapetaka terhadap Sanak. Kembali ke pokok persoalan, jika akan ke Bukittinggi saya juga akan ke sana. Kami membawa jip. Kabarnya Overste Nurdin dan isterinya sudah akan berangkat kemaren ke Padang untuk kembali ke India melalui Jakarta. Tapi karena pencegatan di Lembah Anai itu mereka mengundurkan keberangkatannya, mungkin dalam sehari dua ini. Saya mendapat tugas mengamankan perjalanan suami isteri Atase Militer Indonesia di India itu sampai ke Jakarta..”
Tidak ada pilihan terbaik bagi si Bungsu, selain menuruti ajakan kapten RPKAD itu ke Bukittinggi bersamanya. Namun tengah dia bersiap-siap, orang yang akan dikunjunginya tersebut justru tiba di rumah sakit itu. Overste Nurdin lalu membawa si Bungsu pindah ke rumah dimana dia menginap, yaitu di Mes Perwira di kota itu. Nurdin juga mengajak Kapten Syafrizal dan Sersan Arif ke mes tersebut. Mereka lalu terlibat pembicaraan penuh keakraban.
“Baru kemarin sore saya mendapat kabar bahwa engkau berada dalam konvoi yang dicegat di Lembah Anai itu. Saya juga mendapat informasi tentang Michiko seperti yang dituturkan Kapten Syafrizal..” ujar Overste Nurdin.
“Kami doakan Uda segera bertemu dengan Michiko..” ujar Salma yang sejak tadi hanya berdiam diri, menyela pembicaraan perlahan.
“Melalui telegram saya sudah kontak teman di Konsulat Singapura, termasuk teman-temanmu bekas pasukan Green Baret di sana untuk mencari informasi. Mereka mengatakan bahwa helikopter pembawa senjata gelap itu memang dari salah satu tempat di Singapura. Tapi, maaf, pilot yang bernama Thomas veteran Angkatan Udara Amerika itu kembali ke kota tempat tinggalnya, di Dallas Amerika. Dan, sekali lagi maaf, dia membawa Michiko yang sakit untuk diobat di sana..”
Salma memperhatikan lelaki yang pernah amat dia cintai itu. Si Bungsu terdiam. Dia teringat pembicaraannya dengan Michiko di Padang, beberapa hari sebelum berangkat ke Bukittinggi.
Di negeri kami ini, yang melamar seorang gadis adalah pihak ibu dan keluarga perempuan pihak lelaki. Tapi saya tak lagi punya keluarga. Kita sama-sama sebatang kara. Kalau nanti kita di Bukittinggi, saya akan meminta Salma dan Nurdin melamarmu. Engkau tempat aku mengabarkan sakit dan senang, aku tempat engkau mengabarkan sakit dan senang pula. Maukah engkau menjadi isteriku, Michiko-san? “
Michiko menatapnya, kemudian berdiri. Lalu menghambur ke dalam pelukkannya. Gadis itu menangis terisak-isak, tenggelam oleh rasa haru dan bahagia yang tak bertepi. Lalu berkata di antara tangisnya.
“Hati dan jiwaku milikmu, kekasihku. Milikmu, selamanya-lamanya….!”
Kini, bagaimana dia akan meminta Nurdin dan Salma melamar gadis itu untuknya? Dia seperti menelan sesuatu yang teramat pahit di hatinya. Namun dia berharap gadis itu sembuh dari luka yang dia derita, diselamatkan Tuhan nyawanya. Paling tidak itulah harapannya yang tersisa. Untuk bertemu, masih adakah harapannya? Dallas, Amerika, entah di ujung dunia mana letak negeri itu. Namun, diam-diam jauh di lubuk hatinya dia menanam niat untuk datang ke negeri di ujung dunia itu. Diam-diam niat itu dia tanam jauh di lubuk hatinya. Dallas, akau akan datang, bisiknya!
Pesawat yang ditompangi si Bungsu baru saja mendarat di lapangan Paya Lebar, Singapura. Dia berjalan kaki ke bagian Douane. Tak banyak yang dia bawa. Hanya sebuah tas berisi empat atau lima stel pakaian, kemudian sebuah tongkat kayu. Tas tangan itu dia jinjing, jadi dia tak usah menunggu lama untuk bisa keluar. Dalam perjalanan menuju tempat keluar, sebuah pesawat LKM milik Belanda dia lihat mendarat pula di ujung landasan.
@
Tikam Samurai - IV