”Hei, bergegas kelihatannya. Akan kemana Datuk?” orang yang ditabrak dipintu mesjid itu bertanya.
Lelaki seporah baya yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu mula-mula akan terus keluar.
Namun dia berbalik dan berbisik pada kedua lelaki yang ditabrak itu. Kedua lelaki itu tak percaya. Mereka surut kembali ke tengah masjid. Menatap orang yang bersalaman dengan Datuk itu. Yang kini masih duduk menunduk. Kedua orang ini juga tersurut. Kemudian cepat-cepat berlalu. Sudah tentu sikap ini menarik perhatian yang lain. Dan beberapa orang, meniru perbuatannya pula. Berbalik ke tengah masjid dan melihat pada orang yang masih duduk menunduk itu. Kemudian juga mereka seperti melihat setan. Lalu keluar cepat-cepat.
Dalam waktu yang singkat, hampir semua lelaki di kampung itu, yang datang sembahyang Jumat ke masjid, mengetahui bahwa si bungsu laknat anak Datuk Berbangsa itu ternyata masih hidup, Dan kini dia kembali ke kampung ini. Ada perasaan tak sedap dan tak aman di hati hampir seluruh lelaki kampung atas kehadiran si Bungsu. Anak muda itu masih duduk di tengah masjid. Duduk dengan kepala menunduk. Dia tahu tadi orang memperhatikannya. Dia tahu orang berbisik membencinya. Dan itulah kini yang dia renungkan. Dia menyangka dengan masuknya rumah Allah ini perasaannya akan tentram. Dia menyangka bahwa di rumah Allah ini semua insan sama. Bukankah setiap kaum muslim itu bersaudara? Dan bukankah masjid ini adalah lambang dari persaudaraan orang Islam? Mengapa kebencian di luar sana harus dibawa ke rumah suci ini? Atau di rumah Allah inipun manusia sebenarnya tak bisa melepaskan dirinya dari sikap manusia yang hewani. Saling membenci, saling dengki, saling atas mengatasi, saling himpit menghimpit? Atau barangkali dia tak dianggap sebagai seorang Muslim?
”Engkau itu Bungsu?”
Tiba-tiba suara lembut menyapa. Menyadarkan dirinya dari lamunan- Dia mengangkat kepala. Dan matanya tertatap pada imam yang barusan menyapa. Imam itu masih duduk di depan, di dekat mihrab.
”Benar. Saya inilah pak Haji…” dia berkata sambil kembali menunduk.
”Sudah lama kau tiba di kampung ini?”
Aneh. Suara imam itu tetap lembut. Tak ada nada permusuhan sedikitpun.
”Saya tiba malam tadi pak….” katanya masih tetap menunduk.
„Angkat kepalamu Bungsu. ini rumah Allah. Di sini setiap manusia sama nilainya. Mereka hanya berbeda amalnya di sisi Allah.” Imam itu seperti bisa membaca yang tersirat di hatinya. Dia mengangkat kepala. Menatap imam itu dengan heran.
”Disenangi. Dibenci. Dipuja. Disanjung. Dilupakan. Dicaci maki, atau tak diacuhkan. Itulah yang dinamakan kehidupan Bungsu. Manusia harus berjuang di antara kemungkinan-kemungkinan itu. orang takkan mulia karena pujian. Sebaliknya orang juga takkan mati karena caci maki.”
Si bungsu termenung. Dalam masjid itu tak ada orang lain. Hanya dia dan imam itu saja.
”Dimana engkau malam tadi?” Imam itu bertanya lagi.
”Di surau lama di hilir kampung ini pak Haji….”
”Hmm. Masih senang main koa atau dadu?“
Dia menggeleng, kepalanya kembali menunduk.
”Kenapa tak terus ke rumahmu?”
Kini dia mengangkat kepala. Menatap pada haji itu.
”Saya sudah sampai di sana pak Haji. Tapi saya lihat ada orang yang menunggu. Saya tak berani membangunkan mereka. Saya tak tahu siapa yang telah menghuni…”
”Yang menghuni adalah Sutan Lembang. Menantu mamakmu Datuk Sati. Semua orang di kampung ini menyangka engkau telah mati.Jadi seluruh pusaka keluargamu menurut adat jatuh pada kakak lelaki ibumu. Dia punya rumah banyak. Karena itu rumah ibumu disuruh tunggunya pada anak perempuannya. Isteri Sultan Lembang.”
”Ada yang ingin saya tanyakan pada pak Imam…”
”Tentang kuburan ayah, ibu dan kakakmu yang di tengah laman rumah itu?”
Si bungsu kaget. Alangkah tajamnya firasat Imam ini. Dia memang akan menanyakan kuburan itu. Malam tadi dalam cahaya rembulan, kuburan itu tak dia lihat lagi di tengah halaman itu. Padahal dulu di sanalah dia menguburkan ayah, ibu dan kakaknya. Benar. Saya ingin tahu dimana kini kuburan mereka akhirnya dia berkata juga.
”Dahulu mereka kau kuburkan di tengah halaman bukan? Dan kakakmu dekat jenjang. Kembali dia terkejut mendengar ketepatan terkaan Haji ini. ”Benar pak Haji…”
”Dan seorang Benar begitu?.” Anak yang kau kubur dekat pohon gajus di sebelah sekolah. Dua orang perempuan di bawah batang manggis. Tiga orang lelaki dekat kandang kerbau. Begitu bukan Bungsu?”
”Apakah pak Haji ada waktu saya menguburkan mereka?”
Si bungsu bertanya di antara rasa kaget dan herannya. Haji itu menarik nafas panjang. Kemudian berkata perlahan :
”Allah Maha Besar. Hari ini Allah membuktikan apa yang kuduga selama ini. Terima kasih Bungsu. Engkau telah menyelenggarakan mayat-mayat itu dengan baik. Salah satu lelaki yang kau kubur itu adalah adikku. Dan anak itu adalah ponakanku. Terima kasih. Saya sudah menduga sejak semula. Bahwa kaulah yang menguburkan mereka. Sebab saat itu semua kami sudah melarikan diri. Kami lihat kau kena hantam samurai. Ketika kami kembali sebulan kemudian,kuburan itu kami gali kembali. Kami pindahkan ke pekuburan kaum. Ternyata mayatmu tak kamijumpai. Semua orang menyangka mayatmu diseret binatang ke kaki gunung dan memamahnya di sana.
@
I. Tikam Samurai