Namun aku menduga, engkau pasti selamat. Dan engkaulah yang menguburkan mereka. Aku tak tahu bagaimana caramu menguburkan mayat sebanyak itu dalam keadaan luka. Dan aku juga tak tahu berapa lama waktu kau perlukan untuk mengubur mereka. Namun aku yakin, pekerjaan itu pastilah pekerjaan yang tak mudah bagimu, mengingat lukamu yang parah itu. Sekali lagi terima kasih nak. Atas bantuanmu mengubur mayat ponakanku, mayat adikku, dan mayat seluruh penduduk yang terbunuh. Kau selenggarakan mayat mereka, meskipun semasa hidupnya mereka selalu membencimu. Tuhan akan membalas budimu nak…”
Air mata imam itu merembes dipipinya. Betapa tidak. dia yakin anak muda inilah yang telah menolong mayat-mayat itu. Namun alangkah malangnya dia. Dia tak mampu menjelaskan pada orang kampung tentang keyakinannya itu. Dia takut orang kampung akan membencinya. Dia jadi malu pada kelemahan dirinya itu. Seorang imam yang tak berani mengatakan yang benar hanya karena dia takut dilucilkan orang kampung. Padahal dia tahu benar ada ayat yang berbunyi Katakanlah yang benar, meskipun sang at pahit. Dia menangis menyesali kelemahannya .
”Jadi kuburan ibu, ayah dan kakak saya sudah dipindahkan ke makam kaum di hilir sana pak Haji?”
”Ya, mereka sudah dipindahkan ke sana nak….”
”Terima kasih pak….” dia lalu bangkit.
”Akan kemana kau Bungsu?”
”Saya akan ke kuburan itu pak…. Setelah itu? Belum saya pikirkan…”
”Kalau engkau masih lama di kampung ini. Singgahlah ke rumah saya. Masih di tempat yang lama. Dekat pohon kuini besar yang sering kau lempari buahnya dahulu. Singgahlah….”
”Terima kasih pak. Insyaallah. Saya permisi. Assalamualaikum….”
”Waalaikum salam….”
Dia turun dari masjid. Imam itu menatap punggungnya. Aneh kalau lelaki yang turun dari mesjid tadi merasa suatu yang tak sedap dan suatu ketegangan yang mencengkam mereka atas kehadiran anak muda ini, pak Haji ini justru sebaliknya. Ketika menatap punggung anak muda itu. menatap bayang-bayangnya melangkah keluar, ada semacam perasaan bangga dan aman menjalari hati tuanya.
Ya, si Bungsu telah kembali setelah dianggap mati sejak peristiwa berdarah yang
memusnahkan keluarganya belasan purnama yang lalu. Orang kampungnya tak melihat satu perubahanpun pada diri anak muda itu. Kesan mereka terhadapnya tetap sama seperti dahulu.
Seorang penjudi dengan muka murung dan mata sayu seperti orang yang tak punya semangat. Dan lebih daripada itu, mereka tetap menganggapnya sebagai seorang laknat yang telah membuka rahasia tentang penyusunan kegiatan di kampung ini dalam melawan Jepang. Itulah sebabnya dia tetap tak disukai kembali ke kampungnya. Perasaan tak suka itu segera saja diperlihatkan di hari pertama dia berada di kampung kelahirannya itu. Saat tengah berjalan menuju ke rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit dari masjid dia dihadang oleh enam lelaki yang rata-rata mempunyai tubuh kekar.
Dengan wajah yang tetap murung dan sinar mata yang kuyu, dia tatap lelaki itu satu persatu. Dia segera mengenali mereka. Mereka adalah pesilat-pesilat. Dua di antaranya adalah murid ayahnya, yang lain murid Datuk Maruhun.
”Assalamualaikum……..” sapanya perlahan setelah dari pihak yang mencegat beberapa saat tetap tak bersuara. Salah seorang itu terbatuk-batuk kecil. orang itu dia kenal sebagai Malano, murid ayahnya.
”Apa perlumu kemari Bungsu….” Malano bertanya.
Alangkah menyakitkannya pertanyaan itu. Ini adalah kampung halamannya. Tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Kini dia pulang ke kampungnya untuk melihat pusara ayah, ibu dan kakaknya. Sejelas itu kedatangannya, masih ada orang yang bertanya, untuk apa dia kembali. Namun meski pahit sekali pertanyaan itu, dengan kepala masih menunduk dia tetap menjawab dengan suara yang rendah.
”Saya ingin melihat kuburan ayah, ibu dan kakak …. ”
”Telah kau lihat kuburan mereka bukan?”
Seorang lagi bertanya. Tanpa melihat orangnya, dia tahu bahwa yang bertanya itu adalah Sutan Permato. Murid silat Datuk Maruhun.
”Ya. Saya datang dari kuburan.”
”Nah, kalau sudah kau lihat, kini tinggalkanlah kampung ini….” suara Malano kembali terdengar. Dia mengangkat kepala. Ucapan terakhir ini seperti perintah dan ancaman sekaligus. Apakah dia tak salah dengar? Nampaknya memang tidak. Keenam lelaki itu mengelilinginya. Menatapnya dengan penuh kebencian. Dan dari balik kain-kain pintu, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan tempat mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak mengintip kejadian itu.
”Kenapa saya mesti harus pergi dari kampung ini?” dia bertanya.
”Kenapa…? cis.. karena ini..?”
@
I. Tikam Samurai