Tikam Samurai - 27

Dan terjadilah peristiwa itu. Dulu dia tak ada daya sama sekali tatkala dikeroyok oleh si Baribeh dan ketiga temannya selesai berjudi di surau lapuk di hilir kampung itu. Kini juga dia seperti takada daya tatkala keenam lelaki yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan itu menghantamkan kaki dan tangan ke tubuhnya. Dia terjajar dari satu kaki ke kaki yang lain. Dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan akhirnya dia jatuh tersungkur. Tertelungkup dengan mulut dan hidung berdarah.
”Kalau tak memandang waang anak Datuk Berbangsa, sudah kami cincang badan laknat waang itu. Pengkhianat jahanam. Penjudi laknat. Kalau sampai petang nanti waang masih ada di kampung ini, jangan salahkan kami kalau nyawa waang kami akhiri”
Itu adalah suara Malano. Dia hanya mendengar suara itu sayup-sayup, Kemudian keenam lelaki itu pergi. Anak itu ternyata tetap seperti dahulu. Tak mengerti silat selangkahpun. Lelaki yang tak lengkap sebagai lelaki. Namun dalam telungkupnya yang pasrah itu, si Bungsu bermohon pada Tuhan, agar hatinya dikuatkan untuk tidak menggunakan samurai yang dia bawa bukan untuk mencelakai orang kampungnya.
Dia pasrah menerima perlakuan itu. Sebab dia tahu mereka melakukan itu adalah karena cinta mereka pada kampung jua. Telinganya yang amat tajam yang terlatih mendengar suara kaki lelaki itu menjauh. Bahkan dalam telungkupnya dia dapat mengetahui, yang dua orang berjalan ke arah Utara. Yang tiga orang ke Selatan. Sementara yang satu lagi naik ke rumah tak jauh dari tempat dia terbaring. Telinganya mendengar langkah kaki mereka. Namun badannya memang letai. Makan tangan dan kaki keenam lelaki itu harus dia akui sangat ligat. Perutnya terasa mual. Kepalanya berdenyut-denyut.
Kejadian itu sudah diduga akan terjadi oleh Imam di masjid tadi. Ketika keenam lelaki itu mempermak si Bungsu, Imam itu menyaksikannya dari balik jendela masjid. Dia ingin berteriak mencegah orang-orang itu memukuli si Bungsu. ingin benar. Dia kasihan pada anak muda itu. Namun dia tidak berani menampakkan diri. Dia tak punya cukup keberanian untuk melarang mereka. Dia Imam masjid ini. Di masjid ini dia menerima sedekah, wakaf, zakat atau uang akad nikah dari penduduk. Kalau dia sempat tak sependapat dengan penduduk. bisa-bisa penduduk tak lagi menyerahkan zakat fitrah atau sedekah padanya. Atau kalau akan menikah, orang pergi saja ke Iman atau kadi yang lain.
Itu berarti menutup mata pencahariannya. Dan dalam zaman serba kacau seperti sekarang ini, kehilangan mata pencaharian merupakan malapetaka hebat. Ah, tidak. Dia tak mau kehilangan mata pencaharian dengan melawan arus pendapat penduduk. Tapi ketika keenam lelaki itu menyelesaikan pekerjaan tangan mereka, dan si Bungsu tergeletak dengan tubuh lenyai, dia merasa malu pada dirinya. Dia kini berada dalam rumah Allah, di mana tiap Jumat dia berkhotbah menyerukan berbuat kebalkan. Menyeru berbuat jujur. Menyeru untuk berkata benar. Menyeru untuk tidak munafik, orang munafik kebencian Allah, begitu dia sering berkata dalam khotbahnya.
Namun apa nama pekerjaannya kini? Apakah membiarkan anak muda itu dilanyau, bukan suatu perbuatan pengecut dan munafik? Bukankah selesaiJ umat tadi dia berkata pada anak muda itu bahwa dia mengetahui kebaikannya yang dibuatnya? Bukankah dia mengetahui bahwa anak muda itu tidak bersalah? Kenapa dia tak berani membela anak muda itu? Apakah kepentingan perutnya jauh lebih penting daripada menegakkan suatu kebenaran? Ah, tiba-tiba dia menjadi malu berada dalam rumah Allah ini.
”Ampunkan hambamu yang lemah ini ya Allah…..” bisiknya sambil melangkah turun. Dia melangkah ke arah si Bungsu yang masih tertelungkup, Dia tahu, dari balik pintu dan jendela rumah-rumah penduduk banyak orang yang mengintip. Dan itu juga berarti mengintip padanya yang kini berjongkok dekat tubuh si Bungsu.
”Bungsu…..” dia memanggil sambil membalikkan tubuh si Bungsu. Dia merasa hiba melihat hidung dan bibirnya yang berdarah.
”Bangkitlah. Mari ke rumah saya”
Anak muda itu bangkit dengan berpegang kuat-kuat pada tubuh imam itu. Imam itu sudah tua. Tubuhnya sudah lemah. Namun kali ini tubuhnya seperti mendapat tenaga baru untuk memapah anak muda itu ke rumahnya. Dijenjang dia berhenti. Sengaja dilayangkan pandangannya keliling. Menatap ke rumah-rumah sekitarnya dengan kepala tegak. Seperti ingin mengatakan pada orang yang mengintip itu, bahwa dia membela anak muda ini.
”Saleha….buka pintu”
Dia memanggil ke rumah. Seorang gadis membuka pintu dengan ragu-ragu. Gadis berkulit kuning berwajah bundar itu menatap pada ayahnya, kemudian menatap ke rumah-rumah di sekitarnya dengan perasaan cemas.
”Bukalah. sediakan air panas di panci dan kain bersih. Cepat”
Gadis itu cepat menghilang ke belakang saat ayahnya membawa si bungsu naik dan mendudukkannya di ruang tengah, di atas tikar pandan yang bersih. Saleha muncul lagi membawa baskom dengan air hangat-hangat kuku serta sehelai kain lap bersih.



@



Tikam Samurai - 27