Anak gadisnya memang terkenal cantik dan bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan bayaran yang tak tanggung – tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang – pejuang Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata untuk pihak Jepang. Soalnya Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi semacam kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi kepercayaan Jepang.
Pejuang – pejuang Indonesia sudah lama mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa bukti, mereka tak dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka usaha pejuang – pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil. Padahal beberapa orang pejuang yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk ini. Dia menyebar intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan – perempuan lacur. Bahkan tertangkapnya beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga atas petunjuk Cina ini.
”Sudah datang dia ?” seorang perwira Jepang yang berpangkat Lettu (Chu – I), bertanya sambil menambah uang taruhannya.
”Belum, mungkin sebentar lagi”, jawab Babah gemuk tersebut.
Mereka meneruskan main dadu. Tiba – tiba Chu – I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada dalam ruangan itu.
”Hei, mana Amoy ..?” tanyanya.
Ketiga perempuan itu menatap pada si babah gepuk yang sedang duduk main dadu. Si gepuk main terus, meraih uang di tikar yang dimenanginya.
”Mana Amoy, gepuk?” tanya si Chu-I.
Si gepuk memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu akan tegak, si gepuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan tangannya. Chu-I tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian melangkah kekamar yang dimaksud si babah gepuk.
Ketika dia baru sampai di depan pintu, pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat letnan keluar dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di dalam Jepang itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat tidur. Posisinya yang sedang membungkuk membelakangi pintu dengan handuk melilit tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung Jepang itu berdebar kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.
Di luar rumah Cina itu sejak tadi seorang lelaki kelihatan tegak. Dia seperti menanti sesuatu. Dan setelah lebih dari dua jam dia tegak di sana, barulah dia lihat dua orang lelaki mendekati rumah itu. Dia cepat – cepat melangkah mendekati kedua lelaki itu.
” Hei. Jumpa lagi kita ..! ” dia berkata pada kedua lelaki itu. Dan kedua lelaki itu berhenti. Menatap padanya. Dalam cahaya bulan, mereka segera mengenali orang yang menegur mereka itu.
” Hmm. Kau Bungsu ..!”
” Ya. Aku si Bungsu. Sudah lebih dua tahun kita tak bertemu ya Baribeh ?”
Baribeh yang dulu pernah melanyau tubuhnya ketika mereka kalah berjudi di Surau bekas di kampungnya, tertawa menggerendeng.
” Tapi kudengar kau sudah mampus dihantam samurai Saburo.”
Baribeh yang pesilat itu berkata. Tubuh si Bungsu seperti jadi kaku mendengar nama Saburo disebut. Untung saja malam hari, hingga perobahan air mukanya tak kelihatan oleh Baribeh.
” Ah, itu cerita burung. Buktinya saya masih hidup.
Apa perlunya Jepang membunuh saya. Hmm, ini si Jul ya?” Si Bungsu tersenyum pada lelaki juling yang dia sebut sebagai si Jul itu.
” Kalera!!. Jangan ikut – ikutan waang memanggil saya dengan sebutan itu buyung. Kuremas mulut waang dengan cirik nanti ..!” ujar si Jul tersinggung. Sebab orang yang berani dan yang boleh memanggilnya dengan sebutan si Jul itu hanya pimpinannya, si Baribeh.
” Tenanglah Jul. Mungkin dia punya duit banyak seperti dulu. Hei Bungsu, apakah waang masih suka berjudi ?”
” Akhirnya – akhir ini tidak lagi. Tak ada yang mau bertaruh besar. Percuma saja main. Menghabiskan waktu saja ”.
Baribeh menyikut si Jul perlahan. Si Jul tahu maksudnya, yaitu anak muda ini akan mereka jadikan korban lagi.
” Ah, saya jera main dengan kalian. Menang kalian ingin menerima, kalah tak membayar. Kalau sekedar tak membayar saja tak apa. Ini diri saya kalian lanyau. Itu membuat saya ngeri ..” ujar Bungsu.
Baribeh tertawa, memperlihatkan giginya yang merah karena sirih dan runcing – runcing seperti gigi tikus.
” Ahaaa .. jangan takut. Jangan takut. Di tempat ini aman. Ada orang Jepang dan Cina sebagai juri. Waang aman percayalah. Ayo. Ayooo ..!”
@
I. Tikam Samurai