Si Bungsu semula seperti ragu dan takut. Tapi karena tangannya ditarik oleh Baribeh, akhirnya dia menuruti juga. Padahal dia telah menunggu kesempatan ini sejak lama.
Bukankah dulu, saat dia sadar dari pingsannya setelah dilanyau Baribeh dan dua temannya, setelah semua uangnya mereka sikat di surau bekas itu dia, bersumpah akan menuntut balas? Kini kesempatan itu datang. Dia melangkah perlahan mengikuti Baribeh. Di belakangnya berjalan si Juling. Mereka memasuki rumah Babah gemuk itu. Babah yang kini tengah asyik bermain dadu dengan dua orang tentara Jepang yang anak gadisnya tengah dilanyau oleh tentara Jepang berpangkat Chu – i itu. Mereka melangkah terus ke dalam. Baribeh dan si Jul nampaknya sudah terlalu biasa di rumah ini. Mereka mengenal set iap penghuni dan sudut rumah itu. Ketika mereka muncul ditempat orang yang tengah berjudi dadu itu, si Babah berbisik pada salah seorang perwira Jepang didepannya :
” Ini mereka datang,” kemudian dia berseru pada Baribeh
” Hai Baribeh. Lama tak datang lagi. Mana saja ente pigi ?”
”We pigi jauh. We ada bawa kabar baik, dan ada bawa kawan baik. Ini kawan mau main dadu sama babah ”.
Baribeh menjawab sambil menirukan gaya bicara babah gemuk itu. Babah gemuk itu menatap pada si Bungsu. Demikian pula kedua serdadu Jepang itu. Kedua Jepang itu menatapnya dengan seksama.
Sementara Babah gemuk itu hanya menatap sebentar. Namun si Bungsu, yang nyaris tiga tahun hidup di pinggang gunung Sago, bergaul dan mempelajari kehidupan mahluk yang ada di sana, terutama hewan buas agar tak mati dilapahnya, dapat menangkap pandangan yang ganjil maknanya dari tatapan mata si Babah yang sekejab itu. Dia tak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang harus dia curigai dari tatapan si gemuk itu. Namun firasatnya yang tajam, yang dia bawa dari pengalaman hidup sekitar dua tahun di gunung Sago, memperingatkan bahwa kalau terjadi apa – apa, maka yang berbahaya dan harus diawasi adalah Babah gemuk yang kelihatan loyo itu.
Dengan pesan naluri demikian, dia lalu mengangguk kepada mereka. Kemudian duduk agak berjarak dari kedua Jepang tadi. Baribeh dan temannya si Juling itu juga mengambil tempat duduk menghadapi si Babah. Ketiga mereka yang baru datang itu belum segera bertaruh. Mereka hanya duduk memperhatikan permainan yang sedang berlangsung.
Si Baribeh merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Kemudian mengeluarkan semacam tembakau, tapi agak kasar. Menggulungnya besar – besar, kemudian menghirupnya seperti mengisap cerutu. Kedua perwira Jepang yang tengah berjudi itu mengangkat kepala mencium bau asap yang dihembuskan oleh si Baribeh.
” Hmm. Candu. Candu nomor satu ” ujar yang seorang Salah seorang diantara mereka lalu meraih bungkusan si Baribeh. Menggulungnya besar–besar. Dan menghisapnya. Temannya juga ikut meniru. Kemudian si Juling. Mereka menghisap candu itu dengan ni’matnya.
”Siap ..?”
Babah gemuk itu bertanya pada kedua Jepang yang tengah kesedapan itu sambil mengangkat bambu di tangannya.
”Ayo kita main” ujar seorang Jepang pada Baribeh yang kemudian menggamit si Jul dan Bungsu untuk ikut memasang taruhan
”Mulailah ..”
Jepang yang berkepala botak dan bertubuh kurus berkata sambil tetap menghisap candunya. Si Bungsu melihat Babah gemuk itu mengambil tiga buah dadu dari piring yang tertelentang di tikar. Kemudian memasukkan kedalam bambu yang panjangnya lebih dari sejengkal itu.
Si Bungsu memperhatikan jari – jari tangan Babah. Aneh, Cina itu bertubuh gemuk dengan perut buncit. Namun jari – jari tangannya tidak selaras dengan tubuhnya yang subur itu.
Biasanya orang – orang gemuk jari jemarinya pastilah bulat – bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini kelihatan langsing dan panjang – panjang. Berbeda dengan Cina – Cina tua lainnya, yang biasanya membiarkan kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat bersih.
Kini dia tengah mengguncang bambu yang berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan beradu dalam bambu tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba – tiba bambu itu ditelungkupkannya di atas piring. Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu jatuh ke piring. Babah itu melepaskan tangannya dari bambu. Dan bambu itu tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.
Baribeh memasang taruhannya pada angka – angka dua, tiga dan empat. Dia memang bertaruh begitu. Main tebak dibanyak nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara si Bungsu hanya memasang disatu nomor.
Dan dalam empat kali meletakkan taruhan tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja. Kinipun dia bermaksud begitu, mengambil uang dari kantongnya.
Kemudian meletakkan di angka satu. Si Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan Baribeh. Babah gemuk itu mengangkat bambu yang menutupi dadu.
@
I. Tikam Samurai