Satu !
Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka satu di atasnya. Baribeh tercengang. Juling tercengang. Perwira Jepang yang satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu ternyata menebak dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu tersenyum.
Kemudian membayar pada si Bungsu sebanyak enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambat – lambat dia memasukkan lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan.
Kembali terdengar suara mengerincing ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya potongan bambu.
Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu sebelum ”mengungsi” selama dua tahun ke gunung dia selalu menang main dadu adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah yang memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.
Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau saja dia tak pernah berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk itu lihainya bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran set ajam pendengaran macan tutul. Dengan jelas dia mendengar jatuhnya buah dadu itu kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan, tergantung dari banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.
Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada lobang – lobang itu sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka bunyinya akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang – lobang dadu yang enam buah itu angin banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih pelan.
Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka tepat antara lobang enam dengan lobang lima. Untuk membedakannya dibutuhkan keahlian bertahun – tahun. Namun bagi si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.
Kini dengan pendengarannya yang tajam, dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia hanya ingin coba – coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan.Semua uang kemenangannya tadi dia taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang satu itu menaruh taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.
”Sudah ..?” si Babah bertanya.
Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat bambu. Dan kembali mereka terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan si Bungsu.
Yang muncul di atas adalah mata satu, empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan taruhan. Perwira Jepang yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Ju ling yang menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.
Si Babah membayar dengan tenang. Matanya sesekali menatap pada si Bungsu. Dan bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan.
Lagi pula apa yang harus dia takutkan ? Bukankah pertaruhan ini jujur ? Bukan dia yang jadi bandar. Dia hanya pemasang taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan kinipun kalau akan ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.
Pertama karena bandar curang, dan ini tak kelihatan tanda – tandanya. Dan kedua karena bandar atau salah satu pihak tak rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda – tandanya. Meski telah membayar cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar masih dengan tersenyum. Dia tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari – jarinya yang panjang dan kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling pandang. Babah itu tersenyum. Dan kembali urat – urat darah di tubuh si Bungsu mengencang melihat tatapan mata dan senyum Babah gemuk ini.
Lambat – lambat tangan si Babah mulai memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan dan berputar di dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap si Bungsu, Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.
Menatap sambil tangannya tetap memutar tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi menatap pada si Babah. Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik – baik.
@
I. Tikam Samurai