Tikam Samurai - 73

“Jangan khawatir. Di sini aman. Suara takkan terdengar ke atas sana. Letakkan mayat itu di pembaringan …” kata pemilik toko tersebut. Si Bungsu meletakkan mayat kurir itu di tikar.
“Hmm, Sutan Pangeran rupanya ..” kata pemilik toko setelah melihat mayat itu, kemudian menatap pada si Bungsu.
“Bapak mengenalnya ?” tanya si Bungsu. Lelaki itu menarik nafas.
“Saya mengenal hampir setiap lelaki di kota ini anak muda. Termasuk dirimu. Saya mengenal siapa pejuang dan siapa penghianat. Sutan Pangeran anak buah Datuk Penghulu. Sementara dia ini adalah Sutan Permato, mata mata Dakhlan Jambek Saya sendiri kurir penghubung seperti Datuk Penghulu …”
Si Bungsu menarik nafas lega mendengar penuturan lelaki itu. Dia lega berada diantara para pejuang bangsanya.
“Apa yang harus saya lakukan dengan mayat ini ?” tanyanya.
“Biarkan di sini. ini urusan saya. Termasuk memberitahu isteri dan anak anaknya. Engkau bertindak benar dan cepat dengan melarikan mayatnya. Kalau Jepang sampai tahu wajah dan alamat mayat ini, maka keluarganya akan ikut punah. Syukur jejaknya engkau hapus. Kini saya rasa engkau lebih baik cepat cepat pulang kerumah Datuk Penghulu. Dia tidak di rumah, tengah menghadiri pertemuan di Kayu Tanam bersama Engku Syafei dan Etek Rahmah El Yutnusiyah. Kabarnya Jepang mulai terpukul di Pilipina oleh Sekutu. Sedang diperhitungkan langkah apa yang akan diambil oleh para anggota Gyugun. Makanya engkau saya suruh pulang, tadi saya mendapat informasi bahwa ada pasukan Jepang ditugaskan menangkap Datuk Penghulu. Saya jadi ingat anak isterinya. Dan saya mendapat kabar bahwa di sana ada juga adikmu yang bernama Mei-mei. Saya hawatir dengan nasib mereka …”
Si Bungsu tertegun. Hatinya berdebar aneh. Ada perasaan tak sedap menyelusup di hatinya.
“Berapa orang Jepang kesana ?” tanyanya perlahan.
“Antara empat atau lima orang. Semuanya Kempetai …”
“Kempetai …?”
“Ya. cepatlah kesana. Yang penting kau selamatkan anak bini Datuk itu serta adikmu ..”
Si Bungsu tak banyak bicara lagi. Kalau dapat saat itu juga dia ingin berada di Padang Gamuak.
“Bagaimana tentang bendi pak Datuk? Bendi itu saya tinggalkan tak jauh dari lepau kopi itu …”
“Jangan khawatir. Telah ada yang mengaturnya. Keluarlah lewat pintu bawah. Akan ada yang mengantarmu lewat jalan memintas melalui rel kereta api …”
Lalu si Bungsu diantar melalui jalan memintas ke Padang Gamuak.
“Anak muda yang benar benar luar biasa …” kata pemilik lepau kopi itu setelah si Bungsu pergi.
“Ya. Dia telah mulai membunuhi Jepang, barangkali sudah puluhan yang mati ditangannya. Sementara pejuang pejuang baru dalam taraf rencana saja. Kita harus malu padanya …” pemilik toko bertingkat itu berkata perlahan.
“Saya tak bisa percaya ketika dahulu ada yang bercerita bahwa di Payakumbuh ada seorang anak muda yang membunuhi Jepang dengan samurai. Tapi ketika tadi dia membunuh dua Jepang itu dengan cepat, bahkan tak sempat saya ketahui bagaimana caranya, saya baru bisa yakin. Bahkan saya merasa malu karena dulu tak
yakin …” pemilik lepau kopi itu berkata lagi.
Si Bungsu tertegak di pematang sawah. Jaraknya dari tempat tegak itu kerumah Datuk Penghulu masih sekitar lima ratus meter. Tapi dia tegak dengan kaku di pematang itu karena melihat cahaya api. cahaya api itu jelas datangnya dari tengah hutan bambu. Dia berdoa semogalah api yang berkobar itu bukan dari rumah Datuk Penghulu. Dengan berdoa terus begitu, dia mempercepat langkahnya. Bahkan kini berlari melompati parit, kayu kayu dan bambu yang tumbang. Dan tiba tiba dia tertegak. Rumah itulah yang terbakar. Kini telah runtuh. Rata dengan tanah. Api masih menjilati sisa puingnya.
“Mei-meiiii….!!: dia berteriak dengan tubuh menggigil. Sepi…..
Yang menyahut hanya gemertak api memakan sisa dinding bambu rumah yang rubuh itu.
“Tek Aniiii…”
Sepi…..
Anjingpun tak ada yang melolong. Gemertak api memakan puing makin perlahan.
“Upiiiik… Mei-meiii….: Matanya mulai basah.
“Ya Tuhan, selamatkanlah mereka. Selamatkanlah mereka ya Allah …” katanya perlahan sambil mulai mengitari rumah yang telah jadi bara itu. Tiba di bahagian belakang rumah dia tertegak.
“Nauzubilah …” bulu tengkuknya berdiri.
Dekat rumpun pisang, terbaring sesosok tubuh perempuan. Kepalanya hampir putus. Perempuan itu adalah Tek Ani, isteri Datuk Penghulu. Perempuan ini jelas dibunuh setelah diperkosa. Perempuan berumur empat puluh tahun itu memang masih cantik dan bertubuh bersih. Kini dia dibunuh Jepang. Pakaiannya tak menentu. Si Bungsu jongkok. Menutup tubuh perempuan itu dengan kainnya yang tergeletak tak jauh dari situ.



@


Related Posts

Tikam Samurai - 73