“Sudah lama sekali kita tak jumpa….” Kata si Bungsu.
“Ya. Sudah lama sekali…”
“Apa kabar Buluh Cina?”
“Masih tetap seperti dahulu. Batang Kampar masih berwarna kuning. Kanak-kanak masih mengayuh sampan mencari ikan. Penduduk masih menabang rimba untuk dijadikan ladang. Tahun depan jika sudah panen, ladang itu mereka tinggalkan untuk mencari hutan lain. Ditebas, dibakar dan dijadikan ladang pula…. Ah, saya juga sudah rindu pada Buluh Cina Bungsu…”
“Pak Bilal masih hidup?”
“Masih. Oh ya, masih ingat Nuri?”
Si Bungsu berdebar. Bagaimana dia takkan ingat gadis cantik ditepian sungai Kampar itu? Bukankah dia yang merawatnya ketika sakit di Buluh Cina dahulu?
“Ya, saya masih ingat. Apakah dia ada sehat-sehat?”
“Tiga tahun yang lalu, yaitu ketika saya akan meninggalkan Pekanbaru, dia menikah dengan seorang pedagang dari Teluk Petai Bungsu, saya tahu, dan semua penduduk kampung tahu, bahwa Nuri mencintaimu. Tapi….engkau entah dimana. Ada dia nanti kabar berita darimu. Setahun dua. Tapi kampung itu terlalu miskin. Seorang gadis betapapun dia mencintai seorang pemuda, namun dia harus lebih mencintai keluarganya. Keluarganya butuh makan. Dan itulah yang dilakukan oleh Nuri. Dia ingin mengabdi pada keluarganya yang miskin. Dia menerima lamaran seorang pedagang dari kampung Teluk Petai. Bukan karena dia mata duitan, tapi semata-mata demi keluarganya. Engkau dapat mengerti Bungsu….?”
Si Bungsu tertunduk. Tak mejawab. Hatinya amat terharu mendengar cerita Nurdin.
“Saya mengerti…Nurdin. Saya bangga pada gadis itu. Dia gadis yang berhati mulia. Saya ingin Tuhan melimpahkan kebahagiaan padanya….” Suara si Bungsu terdengar bergetar. Nurdin diam, si Bungsu juga diam. Sedan itu meluncur diantara ratusan modil yang berseliweran di kota Singa itu.
Lama mereka terdiam. Ketika kahirnya sedan itu berhenti di sebuah taman di pinggir laut. Nurdin membawa si Bungsu duduk dikursi batu yang terdapat di bawah pohon-pohon.
Si Bungsu menceritakan secara ringkas tentang pertemuaannya dengan musuh besarnya, Saburo Matsuyama. Dia juga menceritakan tentang Obosan yang bunuh diri itu. Tapi dia tak menceritakan tentang anaknya yang bernama Michiko. Yang menaruh dendam dan ingin menuntut balas padanya. Karena itu dia anggap tak perlu amat buat diceritakan pada orang lain.
“Nah, engkau sudah tahu kisahku Nurdin. Kini, giliranmu. Sejak bila engkau berada di kota ini?”
“Saya bertugas disini…”
“Bertugas?”
“Ya. Pemerintah kita telah membuka Konsulta disini. Saya ditugaskan sebagai salah seorang atase militer. Mengurus kepentingan-kepentingan untuk negeri kita…..Nah, sudah tiba saatnya kita kerumahku. Hei, engkau dimana tinggal Bungsu?”
“Saya tinggal bersama seorang teman. Nanti lah saya kerumahmu Nurdin. Saya tak mau menyibukkanmu…”
“Ah tidak. Engkau harus kerumahku. Kita pergi mengambil pakaianmu. Engkau harus pindah ke rumahku Bungsu. Jangan menolak. Kecuali kalau engkau tak menganggap aku sebagai saudaramu lagi…”
Si Bungsu memandang terharu pada temannya itu. Akhirnya dia terpaksa menyerah. Mereka mengambil barang-barangnya dari sebuah rumah di jalan Arab. Kemudian mereka menuju ke rumah dinas yang ditempati Nurdin yang kini berpangkat Letnan Kolonel.
Mobil itu memasuki sebuah halaman rumput yang luas di pinggir jalan Bras Basah yang teduh oleh pohon-pohon. Sebuah rumah terletak persis di tengah sebuah lapangan rumput itu. Berwarna putih dengan atap dari kayu sirap berwarna coklat tua.
“Nah, itu isteri saya. Dia akan senang mengenalmu Bungsu. dia juga orang Minang…” Nurdin menunjuk ke pintu rumah ketika mobil berbelok ke sana.
Seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai hingga bahu tegak di depan pintu dengan baju kembang berwarna biru. Mobil itu berhenti tak jauh dari nyonya rumah tersebut tegak.
Si Bungsu turun mengikuti Nurdin.
“Bawa koper dibelakang ke rumah Madin…”
Nurdin berkata pada sopirnya.
“Nah, Bungsu kenalkan ini isteriku. Bu, ini teman seperjuangan saya ketika di Pekanbaru. Dia juga dari Minangkabau….”
Si Bungsu mengangguk hormat pada wanita cantik itu. Lalu mengulurkan tangan. Perempuan itu tersenyum dan juga mengulurkan tangan.
“Ke kamar tamu yang ditengah pak…?” suara Madin si sopir itu mengalihkan perhatian Nurdin dari isterinya dan si Bungsu.
“Ya. Kekamar tamu yang besar…” kata Nurdin sambil berjalan menutupkan bagasi di belakang mobil.
Dan untunglah dia melakukan gerakan itu. Sebab pada saat yang sama si Bungsu tertegak seperti patung menatap isteri temannya yang tegak di depannya itu.
@
Tikam Samurai - III