Tikam Samurai - 79

Rusuknya mengirimkan rasa sakit yang membuat celananya basah, rusuknya patah dua buah Kemudian kaki Datuk itu menghantam lipatan lutut si Jepang. Jepang itu jatuh berlutut.
“Ini untuk laknat yang engkau berikan kepada anak dan istriku. . .” berkata begitu, kaki datuk itu menerpa tengkuk si Jepang.
Kembali terdengar suara berderak. Leher Jepang itu seperti dihantam besi. Patah…. Tubuhnya terhantar di sana. Mati… Si Bungsu yang tegak tak jauh dari sana, menjadi ngeri melihat makan tangan dan makan kaki Datuk ini. Dia menjadi ngeri melihat bagaimana Datuk ini murka.
“Ini adalah permulaan. Sudah terlalu lama saya menahan diri untuk tidak memulai perkelahian dengan penjajah jahanam ini. Tapi mulai malam ini, saya akan membunuh mereka sebanyak mungkin. Hutang nyawa harus mereka bayar dengan nyawa Demi Allah, saya akan melakukannya” Suara Datuk itu bersipongang dalam hutan bambu yang lebat itu.
Angin berembus menggeser batang-batang buluh. Menimbulkan bunyi seperti nyanyian malam. Seperti menjadi saksi atas sumpah Datuk itu. Dan sumpahnya dia buktikan. Hari-hari setelah itu, adalah hari-hari yang penuh teror bagi balatentara Jepang di kota Bukittinggi dan sekitarnya.
Hari sudah pagi ketika perwira piket di markas Besar balatentara Jepang di Panorama merasa curiga, sebab enam orang pasukan Kempetai yang dikirim malam tadi ke tempat Datuk Penghulu belum kembali. Perwira piket itu berpangkat Tai-i (kapten) bernama Akira. Sebelum para perwira masuk kantor dia cepat-cepat mengumpulkan regu cadangan. Kemudian memerintahkan seorang chu-I (Letnan satu) memimpin dua belas Kempetai menyusul ke tempat Datuk Penghulu.
“Saya rasa regu malam tadi dalam bahaya. Kepung tempat itu dan tangkap beberapa penduduk untuk menunjukkan dimana Datuk Penghulu . . .,” demikian isi perintahnya.
Dan chu-I itu berangkat ke Tarok menaiki sebuah truk. Truk berisi dua belas orang Kempetai itu melaju mengoyak udara pagi dengan suara menggeram-geram. Di atasnya tegak dengan kukuh kedua belas Kempetai itu. Di tangan mereka tergenggam senjata yang lengkap dengan sangkur terhunus. Truk itu mula-mula menuju ke arah stasiun keret a api. Kemudian berbelok ke arah tangsi militer. Lalu berbelok lagi kejembatan besi. Meluncur terus ke arah Tarok.
Para pedagang yang sudah keluar pagi itu, pada menepi cepat-cepat begitu melihat truk dengan lampu yang dihidupkan itu lewat. Truk dengan kap terbuka dan Serdadu Jepang tegak dengan wajah keras. Tak lama kemudian mereka sampai ke daerah kampung Tarok. Mereka membelok ke sebuah jalan kecil di antara pohon bambu yang rimbun menuju ke Padang Gamuak. Sekitar dua puluh meter masuk kepalunan bambu itu, tiba-tiba di depan sebuah gerobak yang dipenuhi batang ubi kelihatan tegak. Truk tak bisa terus. Sopirnya menyumpah-nyumpah.
Letnan yang ada di depan memerintahkan seorang anak buahnya turun untuk mencampakkan gerobak sial itu ke dalam semak. Tapi sebelum dia turun, saat itulah dua bayangan tiba-tiba melesat dari balik pohon bambu ke atas truk yang terbuka itu. Kedua bayang-bayang itu adalah si Bungsu dan Datuk Penghulu. Mereka sudah menduga, bahwa Jepang pasti akan mengirimkan bantuan untuk mencari regunya malam tadi. Datuk Penghulu lalu menyusun siasat. Merekalah yang meletakkan gerobak yang dipenuhi batang ubi untuk menghalang jalan truk. Kini mereka berada diatas truk itu. Diantara sebelas serdadu Jepang yang memegang senjata dengan sangkur terhunus.
“Penjajah jahanam kalian terima pembalasan kami..”
Berkata begini, Datuk Penghulu yang baru menghambur ke atas truk itu menghantam kekiri dan ke kanan. Kempetai-kempetai yang ada di truk itu kaget melihat kehadiran kedua orang itu di atas truk mereka. Tendangan Datuk itu yang pertama mendarat di perut seorang prajurit. Tubuh prajurit itu terlipat. Matanya mendelik, mulutnya berbuih. Bukan main melinukkannya cuek itu. Teman yang di sebelahnya masih terheranheran, ketika pukulan tangan Datuk itu mendarat di hulu hatinya. Tubuhnya terhumbalang. Temannya yang berada di sisi lain dari truk itu menghunjamkan bayonetnya ke punggung Datuk Penghulu. Tapi samurai di tangan si Bungsu memutus kedua tangannya. Dia meraung.
Saat berikutnya samurai si Bungsu bekerja. Terlalu cepat untuk diikuti mata. Terlalu cepat untuk disadari oleh Kempetai-kempetai yang ada di atas truk itu. Dan pagi itu, terjadilah sebuah pembantaian yang tak mengenal ampun, sebelas orang Kempetai yang berdiri tegak diatas truk terbuka itu, tak sempat sekalipun menembakkan bedil mereka. Truk yang hanya muat untuk tempat tegak itu, tak bisa memberi keleluasaan pada para kempetai itu untuk mempergunakan bedil.
Delapan orang telah mati terbantai samurai atau kena pukulan tangan dan kaki Datuk Penghulu. Sersan yang tegak di depan sekali melompat ke atas kap truk. Dari atas dia mengangkat bedilnya. Dia bermaksud menembak si Bungsu. Tapi gerakannya dilihat oleh Datuk Penghulu yang tengah menghantam seorang kopral dengan siku tepat di tenggorokan.
Sebelum pelatuk bedil sempat dia tarik, tubuh Datuk Penghulu tiba-tiba melambung didahului pekik menyeramkan. Jarak antara dia dengan Jepang yang ada di atas atap truk itu sekitar empat depa. Dan jarak empat depa itu dia lewati dalam loncatan panjang tak lebih dari tiga detik. Yang duluan tiba adalah pukulannya.



@


Related Posts

Tikam Samurai - 79