“Lapan buah?” si Bungsu kini balik bertanya dengan heran.
“Ya, delapan buah. Masa tak tahu..”.
“Saya hanya merasa ada enam buah..”
“Ya, saya lihat hanya enam kali tebas. Tapi dengan enam kali tebas itu kedelapannya kena. Barangkali ada yang sekali tebas dua buah…” Salma berkata perlahan. Matanya menatap ketempat si Bungsu sejak tadi. Dan disana, terdapat belahan-belahan putik jambu. Berserakan memenuhi halaman belakang rumah itu.
“sudah merasa lega kini?” tanya Salma. Si Bungsu menatap dalam-dalam kemata gadis itu. Aneh, ada suatu perasaan yang membuat hatinya jadi buncah dan tak tenteram. Perasaan yang membuat hatinya berdebar.
“Terimakasih Salma. Engkau telah bersusah payah. Merawat diriku, membantu mengembalikan kepercayaan pada diriku. Membantu melatihku…. Terimakasih, aku takkan melupakan budimu…” katanya perlahan. Salma tersenyum, mukanya bersemu merah.
“Hari sudah sore. Tidak lapar?” tanyanya pda si Bungsu. Si Bungsu sudah akan mengangguk, ketika gelang-gelangnya berbunyi. Dia tersenyum malu, Salma juga tersenyum. Dan sore itu dia makan dengan lahap. Makannya bertambuh-tambuh.
Hubungan antara keduanya berjalan makin akrab. Salma tak banyak bicara, namun tatapan matanya yang gemerlap lebih banyak berucap. Dan suatu hari, dia menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan pada si Bungsu. Sesuatu yang membuat hatunya sebagai gadis yang pertama kalin jatuh cinta jadi luluh. Yaitu tentang perempuan lain, yang namanya selalu disebut si Bungsu dalam igauannya ketika sakit dulu.
“abang berkali-kali memanggil namanya…Mei-Mei!…tentulah dia seorang gadis yang cantik…” kata Salma hari itu, sambil tangannya meneruskan sulamannya.
Si Bungsu tak segera menjawab. Salma menanti dengan berdebar. Sebagai perempuan, dia tak mau ada perempuan lain dalam lelaki yang dia cintai. Tapi sebaliknya, dia tak pula mau merebut lelaki yang telah jadi milik orang lain.
“Ya… dia seorang yang cantik dan amat berbudi..” akhirnya si Bungsu menjawab pelan. Salma merasa jantungnya ditikam. Penjahit ditangnnya terguncang, ibu jarinya tertusuk. Sakitnya bukan main, namun lebih sakit lagi jantungnya.
“Dia ada dikota ini…?’ tanyanya dengan suara nyaris gemetar.
“Ada…” jawab si Bungsu pelan.
Salma ingin meletakkan sulamannya. Ingin berlari ke kamar dan menangis disana. Tapi dia kuatkan hatinya.’
“kenapa tak uda bawa dia jalan-jalan kemari…” tambahanya. Dan dia jadi heran, kenapa mulutnya bisa bicara begitu. Padahal hatinya menjerit luka.
“Dia tak mungkin datang kemari. Tapi saya ingin ketempatnya sore ini, kalau engkau mau aku ingin membawamu kesana. Kau mau bukan…?”
Dan Salma mengangguk. Meskipun setelah itu dia ingin memotong kepalanya yang sudi saja mengangguk. Padahal dia ingin menggeleng dengan keras agak sepuluh atau dua puluh kali.
Dan soere itu, mereka memang pergi ke sana. Ke “tempat” perempuan bernama Mei-Mei itu. Salam jadi heran ketika si Bungsu membawanya ke sebuah pemakaman kaum di Tarok. Pekuburan itu terletak dalam paluhan hutan bambu.
Dan… disebuah pusara, si Bungsu berhenti. Salma tegak disisinya.
“Mengapa kita kemari….?” Tanyanya pelan sambil menutupi kepalanya dengan kerudung.
“Engkau ingin mengenal Mei-mei bukan? Disinilah dia. Dalam pusara ini. Dia meninggal setelah diperkosa bergantian oleh selusin tentara Jepang…”
Salma merasa tubuhnya menggigil. Dia berpegang ke tangan si Bungsu. Dan si Bungsu menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Mei-mei. Bagaimana penderitaan gadis itu semasa hidupnya. Dan dengan jujur juga menceritakan bahwa mereka telah berniat menikah, namun maut lebih duluan menjangkaukan tangannya.
Salma menangis terisak-isak. Si Bungsu menunjukan pula tiga pusara lainnya. Masing-masing pusara Datuk Penghulu, kusir bendi yang ternyata intel Republik itu. Kemudian pusara isteri Datuk itu dan pusara si Upik, anak gadisnya yang meninggal malam itu ditangan kebiadaban tentara Jepang.
Lama mereka terdiam. Kemudian Salma membersihkan ke empat pusara itu bersama si Bungsu. Gadis itu mencari sepohin bunga kemboja. Mematahkan dahannya yang berbunga lebat, menancapkannya dipusara Mei-mei.
“Terimakasih Salma. Kau baik sekali…” kata si Bungsu.
Salma menghapus air matanya. Si Bungsu memeluknya dalam tiupna angin sore yang semilir. Tak ada ucapan yang keluar.Namun Salma merasakan pelukan itu alangkah membahagiakan. Kukuh dan tenteram. Dia ingin berada disana, dalam pelukan yang membuat hatinya berbunga itu untuk selama hidupnya.
@
I. Tikam Samurai