Tikam Samurai - 115

Suatu hari, ketika dia kembali duduk di beranda depan, dia melihat dan mendengar derap sepatu tentara.
“Salma…” katanya memanggil ketika melihat enam orang serdadu Jepang lewat di depan rumah dengan bedil ditangan. Salma datang ke beranda depan.
“Mereka selalu lewat di jalan-jalan kota sejak kemerdekaan?”
“Ya, mereka mengadakan patroli. Setiap hari mereka patroli tiga kali. Mengitari kota. Memasuki jalan-jalan kecil. Dan setiap regu patroli terdiri dari enam orang. Begitu terus tiap hari…”
Si Bungsu mengangguk-ngangguk. Dan dia berpikir lagi tentang rencananya beberapa hari yang lalu. Rencana yang disusun untuk membuat sebuah pembalasan. Rencana gila, tapi dia berniat untuk melaksanakannya.
“Kalau bapak pulang, katakan saya pergi jalan-jala…” si Bungsu berkata sambil mengambil samurainya. Salma jadi tertegun. Ada firasat tak enak menyelusup dihatinya. Katakanlah semacam rasa cemas. Dia ingin mencegah anak muda itu untuk tak pergi. Tapi dia yakin, anak muda itu tak tercegah.
“Uda…” hanya itu yang mampu diucapkan ketika si Bungsu sudah sampai di jenjang. Si Bungsu berhenti, menoleh kebelakang. Gadis itu menatapnya dengan sinar mata yang sulit untuk diartikan. Lembut dan dalam. Seperti teluk yang damai dimana kapal-kapal berlabuh.
“Hati-hatilah…’ Akhirnya ucapan itulah yang terlontar dari bibirnya. Namun dari matanya banyak sekali ucapan yang tersirat. Si Bungsu menaiki lagi anak tangga yang dia turuni sebanyak dua buah. Dia pegang tangan Salma, menggenggamnya.
“Terimakasih Salma…” kemudian dia berbalik, buru-buru menyusul serdadu Jepang tadi. Salma menatapnya hingga lenyap dibalik tikungan.
Keenam serdadu Jepang itu sudah memutari separo kota Bukittinggi. Regu patroli jalan kaki itu dipimpin oleh seorang Syo Cho (Sersan Mayor). Keenam mereka tak seorangpun yang memakai samurai. Syo Cho memakai pistol dipinggangnya. Sementara lima orang lagi, yang terdiri serdadu-serdadu berpangkat Itto Hei (Prajurit Satu) tiga orang dan berpangkat Djo to Hei (Prajurit Kepala) satu orang. Satu orang lagi adalah wakil komandan dengan pangkat Hei Cho (Kopral). Kelima mereka memakai bedil panjang lengkap dengan sangkur terhunus diujung bedilnya.
Mereka tengah lewat di dekat penghentian bendi tak jauh dari jenjang gantung yang melintasi jalan, yang menghubungkan pasar teleng dengan pasar bawah, ketika tiba-tiba saja seorang anak muda menghadang mereka. Syo Cho yang memimpin regu itu jadi gusar melihat anak muda yang tegak bertolak pinggang di depannya. Dengan tangan kananya ia dorong anak muda itu. Sebenarnya, kalau saja mereka tidak kalah perang dengan Sekutu, anak muda ini barangkali telah dia tampar. Atau dia tangkap dan diseret ke markas.                                
Tapi kini situasi sudah berbeda jauh. Mereka adalah tentara yang kalah. Makanya mereka cukup hati-hati.
“Minggir..” katanya sambil mendorong. Namun saat itulah yang ditunggu anak muda yang tak lain dari pada si Bungsu, samurainya bekerja dan tangan yang mendorongnya tiba-tiba dibabat putus hingga kebatas siku!
Syo Cho itu memekik. Kelima anggota regunya terkejut dan siap untuk mengadakan pembalasan. Namun keadaan sudah diperhitungkan si Bungsu. Dia sudah mengira, bahwa rencananya  itu rencana gila. Tapi dia merasa kasihan pada pejuang-pejuang yang selalu kalah dalam tiap penyergapan di luar kota.
Begitu tangan Sersan Mayor itu putus, dia menyergap tubuhnya dari belakang. Kemudian seperti dia mengancam Mayor Akiyama di Birugo dahulu, begitu pulalah yang dia perbuat kini. Sersan itu dia ancam dengan melekatkan mata samurainya kelehernya.
“Letakkan seluruh bedil kalian di tanah, kalau tidak saya sembelih komandan kalian ini. Lekas!” si Bungsu menghardik. Kelima serdadu itu tersurut. Mereka jadi ngeri melihat darah yang menyembur dari tangan Sersan yang putus itu. Sersan itu memekik dalam bahasa Jepang agar anak buahnya meletakkan bedil.
Dan keenam serdadu itu segera menyadari, bahwa yang menghadang mereka itu adalah si Bungsu. Anak muda yang ditakuti itu. Yang telah lolos dari tahanan di dalam terowongan dahulu. Menyadari bahwa yang mencegatnya adalah si Bungsu, keenam mereka benar-benar tak mampu berkutik.
Dan kelima serdadu itu mencampakkan bedil mereka ke tanah. Meski hari itu bukan hari balai, bukan Sabtu dan Rabu, namun orang tetap ramai kepasar. Dan dalam waktu sebentar saja, tempat itu telah dikerumuni orang. Penduduk melihat makin lama makain ramai dari kejauhan.
“Kalian tanggalkan pakaian kalian semua. Cepaaat!!” si Bungsu berteriak lagi. Dan tanpa menunggu perintah kedua, mereka berlomba menanggalkan baju dan celana dinasnya.
“Nah, kini dengarkan baik-baik. Katakanlah pada Letnan Kolonel Akiyama bahwa si Bungsu mencarinya. Pergilah cepat!”
Berkata begini, dia mendorong tubuh Sersan Mayor yang dia ringkus tadi. Sersan Mayor itu terjajar. Kemudian melangkah menjauh.



@



Tikam Samurai - 115