Memang tak dapat disalahkan penduduk yang masih tetap tinggal ditempat kejadian itu. Barangkali mereka tak merasa rugi telah ditangkap Kempetai. Malah bila telah bebas, meski kena tampar sebelas dua belas kali, kepada teman dan kenalan, kepada sanak famili, kepada anak cucu, mereka bisa menepuk dada. Bercerita tentang kehebatan si Bungsu. Bercerita bahwa mereka ikut dalam “aksi” membunuh dan menelanjangi enam orang Jepang di dekat jembatan gantung itu bersama si Bungsu. Bersama si Bungsu!
Hm, bayangkan kebanggan yang akan mereka perdapat.
Demikian selalu rakyat kecil. Harapannya tak pula besar. Kecil saja, sekecil kehidupan mereka. Bagi mereka, kebanggaan-kebanggan bertegur sapa atau berdekatan dengan tokoh yang dikagumi, sudah meruapakan suatu kebahagian. Dan itu mereka perdapat hari ini.
Peristiwa di dekat jembatan gantung itu segera menyebar seperti menelan lalang. Bersambung dari satu mulut ke mulut yang lain. Makin lama, kehebatan peritiwa itu makin menjadi-jadi. Ada yang bercerita bahwa pakaian kelima serdadu Jepang itu tanggal hanya karena bentakkan si Bungsu.
Artinya, bentakkan si Bungsu menagndung tenaga dalam yang tangguh. Ada pula yang menceritakan bahwa dia melihat benar dengan mata kepala sendiri, betapa si Bungsu tetap saja tegak ketika ditembak belasan kali oleh Kempetai-Kempetai itu. Setelah perluru pistol Kempetai itu habis barulah si Bungsu beraksi dengan samurainya. Bukan main hebatnya cerita itu bertebar dan bersambung dari mulut ke mulut. Yang sejengkal djadi sedepa.
Namun begitulah selalu rakyat kecil. Jika mereka tidak mampu memperoleh yang besar-besar, bahkan memperoleh yang kecil sekalipun susah, maka mereka cukup merasa puas dengan hanya menceritakan sesuatu yang besar.
Atau sekurang-kurangnya membesar-besarkan peritiwa kecil. Bukankah itu termasuk juga suatu”pekerjaan” yang besar?
Letnan Kolonel Akiyama mencak-mencak saking berangnya mendengar laporan kelima serdadu yang ditelanjangi itu. Mukanya merah padam. Persis udang yang dibakar hidup-hidup. Kelima serdadu yang hanya bercelana kotok itu dia biarkan terus bercelana kotok. Tak dia biarkan memakai pakaian.
“Goblok! Pandir! Kalian tak punya otak. Tak mampu melawan seorang anak ingusan yang hanya pakai samurai. Sialan” dan tangannya bekerja menampari kelima orang serdadunya itu. Puak…puak-puak…pak! Berkatintam tangannya mendarat datar di pipi, kepala dan tengkuk kelima serdadu itu.
Kelima serdadu itu hanya dapat tegak dengan diam dan sikap sempurna. Masih untung mereka ditampar disana dan dibiarkan berserawa kotok. Bagaimana kalau mereka diseret ketahanan kemudian disiksa? Cukup banyak serdadu Jepang yang mengalami siksaan dibawah perintah Letnan Kolonel ini. Dia memang arsitek bidang siksa menyiksa.
Tapi tiba-tiba Letnan Kolonel itu jadi terdiam pula. Dia ingat kembali kata-katanya barusan. “Goblok, pandir, beruk. Kalian tak punya otak, tak mampu melawan anak ingusan yang hanya pakai samurai. Sialan” begitu ucapan makiannya sebentar ini. Dan dia jadi terdiam tertegak seperti patung justru mengingat kejadian di Birugo dahulu. Bukankah dia juga dibuat tak berkutik oleh ancaman samuari anak muda itu?
Bahkan waktu itu dia justru punya kekuatan jauh lebih besar. Dia membawa hampir tiga puluh orang serdadu. Tapi dengan kekuatan begitu, dia justru berhasil direndam anak muda itu dalam tebat. Bahkan Letnan Atto, ajudannya mati dibabat anak muda itu di depan matanya! Dia terdiam karena merasa malu. Dia baru saja memaki anak buahnya. Bukankah itu juga berarti memaki dirinya sendiri?
“Jahanam. Pergi kalian dari hadapanku! Bagero, beruk semuaa!” dia membentak sambil menendangi pantat anak buahnya yang lima orang itu. Ada yang terpancar kentutnya kena tendangan itu. Selagi ada kesempatan, ketika diusir itu lebih cepat menghindar lebih baik pikir mereka.
Dan kini tinggallah Overste itu sendiri. Terengah-engah dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Si Bungsu sudah keterlaluan.Sudah melumuri kepala botakku dengan cirit, pikirnya. Dengan menelanjangi tentara Jepang dimuka orang ramai, membunuh komandan regunya, kemudia berpesan pula agar menyampaikan ancaman pada Akiyama, bukankah itu sebuah tantangan yang tak alang kepalang.
Oh Budha, kalau saja bom atom tak meledak di Nagasaki dan Hirosyima, kalau saja Jepang tak bertekuk lutut pada Sekutu, dia pasti sudah menyuruh menangangkapi semua orang di Bukittinggi ini. Menangkapin mereka sambil memaksa buka mulut untuk menunjukkan dimana si Bungsu sembunyi. Anak setan itu pasti dalam kota ini. Pasti, tapi dimana?
Malangnya Jepang telah menyerah. Jadi kekuatan mereka tak begitu berarti lagi. Mereka harus banyak menekan perasaan. Tapi Akiyama bersumpah, dia harus menangkap dan membunuh si Bungsu jahanam itu. Harus!
Sebaliknya si Bungsu juga bersumpah pada dirinya untuk menuntut balas pada Akiyama. Masih ingat dia betapa Letnan Kolonel itu, semasa dia masih berpangkat Mayor, menghantam luka dibahunya. Lukanya dia tusuk dengan keempat jarinya sehingga jebol ke dalam. Bukan main sakitnya.
@
I. Tikam Samurai