Tapi yang paling sakit perasaannya adalah ketika dia ketahui bahwa Datuk Penghulu mati dihantam samurai Akiyama. Inilah dendam yang harus dia balaskan. Membalas kematian Datuk Penghulu.
Dan akhirnya kedua musuh bebuyutan yang saling membenci ini bertemu muka. Mereka bertemu dalam saat-saat yang menguntungkan bagi posisi si Bungsu. Waktu itu ada suatu upacar dimana selain bala tentara Jepang, juga hadir anggota-anggota pejuang Indonesia dan anggota Gyugun.
Tentara Jepang yang hadir sekitar satu kompi (seratus orang). Pihak pejuang-pejuang Indonesia agak kurang, namun sudah mempunyai senjata agak komplit.
Upacara itu berlangsung di depan asrama militer Birugo. Ada lapangan luas di depan markas itu. Upacra dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Fujiyama.
Ketika upacara itu selesai, pasukan Indonesia sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan upacara. Demikian pula pasukan Jepang siap untuk kembali ke markas mereka yang terletak di belakang lapangan upcara itu. Saat itulah Akiyama tiba-tiba melihat seorang anak muda di antara puluhan penduduk sipil yang tegak di tepi lapangan melihat jalannya upacara itu.
“Bungsu!!!” dia berseru dari tempat tegaknya. Semua orang terkejut. Termasuk Jenderal Fujiyama. Akiyama saat itu tengah bertindak sebagai Komandan Upacara. Dia masih tegak dititik putih tengah lapangan ketika dia menyebut nama si Bungsu.
Setiap tentara Jepang, setiap anggota Gyugun mengenal nama itu dengan baik. Makanya tentara yang sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan itu, segera tegak kembali ditempatnya. Jenderal Fujiyama sendiri juga tertegak di atas podium kehormatan. Demikian pula perwira-perwira Jepang lainnya.
Penduduk yang tegak diarah mana Akiyama menoleh pada surut dengan takut. Dan kini tinggalah disana seorang anak muda. Memakai pantalon biasa. Memakai baju gunting cina dan sebuah tongkat di tangannya.
“Ya, sayalah ini, Akiyama….” Anak muda itu berkata perlahan. Seruan-seruan tertahan terdengar dari mulut para serdadu Jepang. Sementara anggota-anggoat Heiho, Gyugun, para pejuang lainnya dan penduduk pada berbisik.
“Akhirnya kau kudapatkan Bungsu…” Akiyama berseru lagi.
“Ya, saya memang datang untuk mencarimu….” Si Bungsu tak kalah gertak. Dan sebelum Akiyama mempergunakan kekuasaannya untuk memerintahkan menangkap dirinya, si Bungsu cepat-cepat berkata dengan lantang.
“Sebagai seorang Samurai, saya tantang anda untuk bertarung sampai mati. Bertarung secara kesatria dihadapan semua yang hadir sebagai saksi. Itu kalau anda memang benar-benar seorang Samurai Sejati!” suaranya lantang. Bergema diudara yang begitu panas. Muka Akiyama jadi merah.
“Seluruh tentara Jepang jadi saksi untuk tuan. Seluruh tentara Indonesia menjadi saksi untuk saya…” si Bungsu berkata lagi. Suasana sepi.
Tiba-tiba Letnan Kolonel itu menghadap pada Jenderal Fujiyama kemudian melangkah mendekatinya. Pada jarak empat depa dia berhenti. Kemudian memberi hormat dengan sikap gagah. Lalu bicara dalam bahasa Jepang, Fujiyama kelihatan mengangguk-ngangguk. Kemudian Akiyama memberi hormat lagi. Kali ini Jenderal Fujiyama memutar tegak menghadap si Bungsu. Lalu terdengar suaranya bergema :
“Saya sudah lama mendengar namamu anak muda. Hari ini engkau menantang saya. Bagi samurai Jepang adalah suatu kehormatan tertinggi untuk menerima tantangan berkelahi dengan Samurai melawan musuh. Namun untuk engkau ketahui, baru kali ini terjadi dalam sejarah kemiliteran Jepang, ada seorang asing yang menantang seorang Jepang untuk bertarung dengan pedang Samurai. Saya telah mendengar permintaanmu, kemudian mendengar penjelasan Akiyama. Dia bersedia melayanimu. Dan saya merestuinya. Akiyama adalah seorang perwira kami yang sangat mahir dengan samurainya. Saya sangat menyesalkan kalau engkau sampai mati ditangannya. Baik, saya jadi saksi, berikut seluruh tentara Jepang. Dan segenap pejuang-pejuang Indonesia serta masyarakat umum yang ada saat ini jadi saksi untukmu. Saya menjamin kebebasan bagimu, andainya engkau menang. Engkau boleh pergi kemana engkau suka, jika engkau keluar dengan selamat dalam pertarungan ini. Bagi kami, tantanganmu adalah suatu kehormatan, dan bila engkau menang adalah menjadi kehormatan pula bagi kami untuk membiarkan engkau bebas, Bersiaplah!”
Pasukan Jepang dan Heiho serta pejuang-pejuang Indonesia itu segara saja membentuk sebuah lingkaran yang besar. Perlahan-lahan si Bungsu memasuki lingkaran besar itu dan lingkaran itu menutup di belakangnya.
Akiyama membuka pistolnya memberikannya pada ajudannya. Membuka penpels air dipinggang, topi waja dikepala, dan ransel di punggung. Semua yang memberatkannya untuk bergerak leluasa ini dia lucuti dan dia serahkan pada ajudan yang meletakkannya ke pinggir.
Akhirnya dipinggangnya hanya ada samurai yang tergantung di pinggang kanan, seperti telah diceritakan terdahulu, ketika dia menyergap rapat di Birugo, dia adalah seorang yang kidal dalam mempergunakan pedang samurainya.
@
I. Tikam Samurai