Tikam Samurai - 119

Tapi Akiyama belum merasa cukup dengan menanggalkan benda-benda yang bergayut ditubuhnya itu. Dia membuka bajunya dan kini dengan dada telanjang, yang meperlihatkan tubuh yang kekar, dia tegak menghadap si Bungsu.
Jenderal Fujiyama diambilkan tempat duduknya. Dia duduk dengan perwira-perwira di belakangnya.
Kini kedua orang itu tegak berhadapan dalam jarak lima depa. Rambut si Bungsu yang agak gondrong, berkibar-kibar ditiup angin yang berhembus dari kaki gunung Merapi. Sementara kepala Akiyama yang botak licin, berkilat ditimpa cahaya matahari pagi.
Akiyama berlutu ditanah. Menghadap pada Jenderal Fujiyama. Menghormati dengan membungkuk dalam kebumi sampai tiga kali. Lalu berputar menghadap si Bungsu. Masih dalam keadaan berlutut, dia membungkuk memberi hormat. Si Bungsu kaget dan buru-buru membalas penghormatan itu dengan merangkapkan kedua telapak tangannya dan meletakkan di depan wajah. Pengjormatan silat seperti yang pernah ia lihat almarhum ayahnya lakukan.
Akiyama nampaknya menjalankan semacam sembahyang dan doa akhir. Mulutnya berkomat-kamit. Ketika tegak, seorang serdadu masuk ketengah membawa selembar kain hitam. Memberikannya kepada Akiyama. Dan Akiyama menerimanya, lalu mengebatkannya di kepala.
“Banzaaaaii!” tiba-tiba terdengar pekik gemuruh para serdadu Jepang. Demikian gemuruhnya, hingga seluruh yang hadir, anggota-anggota Heiho, pejuang-pejuang, penduduk pada terkejut. Tak terkecuali si Bungsu.
“Dia siap bertarung sampai mati. Pekikan Banzaaii itu adalah pekikan akhir seorang tentara Jepang yang siap menghadapi maut…” seorang perwira Heiho berbisik pada temannya.
Dan memang demikian keadaannya. Akiyama memang bernita bertarung habis-habisan. Sebab kalau sampai dia sampai kalah, maka jalan yang akan dia tempuh kalau tidak mati yaitu harakiri. Bunuh diri! Dia tak mau menanggung malu. Tapi jauh lebih terhormat lagi kalau dia berhasil memenangkan perkelahian ini.
Dia memang seorang pendekar samurai kidal yang jarang tandingannya. Kalau ada tandingannya diantara perwira Jepang, maka orangnya adalah Saburo Matsuyama. Saburo termasuk pelatihyan mempergunakan samurai ketika diketentaraan. Kini Saburo sudah pulang ke Jepang.
Namun demikian, meski dia seorang yang amat andal dalam mempergunakan samurai, kali ini dia tak berani main-main. Yang dia hadapi adalah si Bungsu. Dan dia telah merasakan sendiri kehebatan anak muda ini di Birugo dahulu. Masih dia ingat dengan jelas betapa anak muda ini bergulingan di tanah kemudian ketika dia mencabut samurai, samurai anak muda ini menghantam samurainya, dan tangannya kesemutan. Dan samurainya terlempar ke tanah. Dan anak muda ini meringkus dirinya dan mengancam lehernya dengan samurai!
Tindakan itu masih dia ingat. Masih dia ingat dengan jelas kehebatan si Bungsu itu. Makanya kini dia tak sedikitpun berani pandang enteng. Berlainan sekali halnya dengan si Bungsu. Kalau Akiyama mengetahui dengan pasti keadaan dirinya, maka si Bungsu tak mengetahui keadaan diri Akiyama. Dia tidak tahu dimana letak kemahiran Akiyama.
Yang dia tahu, seperti dikatakan Jenderal Fujiyama, Akiyama ini seorang yang mahir. Itulah semua yang diketahui.
Akiyama tiba-tiba menghunus samurainya. Memegang hulu samurai itu erat-erat. Tangan yang kanan pada bahagian bawah yaitu pada bahagian keujung gagang samurai, dan tangan kiri pada bahagian atas. Yaitu pada bahagian yang dekat ke mata samurai.
Kaki Akiyama terpentang selebar bahu. Dia mengambil kuda-kuda Haisoku Dachi. Yaitu kaki mengangkang selebar bahu. Lau lambat-lambat lututnya ditekik. Dan tubuhnya turun sedikit. Kuda-kudanya kini bertukar jadi Kiba Dachi yaitu sebuah kuda-kuda tangguh dalam sikap menanti serangan.
Si Bungsu mencabut samurainya pula. Dia tegak sebagaimana adanya. Kini semua mata menatap pada anak muda yang dianggap luar biasa ini. Para perwira Jepang pada berbisik ketika dia mencabut samurainya dan mereka menatap dengan dia ketika melihat betapa kaki anak muda itu tegak seenaknya saja. Tak ada dasar-dasar seorang samurai pada sikap awalnya.
Akiyama memindahkan kaki kirinya kedepan dengan ketat menekukkan kedua lututnya. Kuda-kudanya kini beralih menjadi kuda-kuda Neko Ashi Dashi. Kuda-kuda yang siap menerima serangan dan siap untuk menyerang dengan cepat. Kakinyua bergeser perlahan di atas rumput lapangan.
Si Bungsu masih tegak dengan diam. Namun hatinya tidak diam. Dia bicara dalam hatinya berdoa pada Tuhan. Bicara pada almarhum ayahnya.
“Kuserahkan diriku padaMu Tuhan. Dan kuharapkan doamu dari alam barzah…ayah dan ibu. Kalau dingin perutmu mengandungku dulu ibu, maka Tuhan akan menyelamatkan diriku dari maut ini. Kalau tidak, maka disinilah ajalku. Aku masih ingin menuntutkan balas dendam kalian. Mencari Saburo Matsuyama jika aku keluar dari pertarungan ini dengan selamat. Membalaskan nista yang telah dia buat untuk keluarga kita…”



@



Tikam Samurai - 119