Tikam Samurai - 92

“Pasti ada yang berkhianat.” Datuk Penghulu berkata.
Pejuang yang lain masih terdiam. Hitungan di luar sudah mencapai angka empat. Lelaki yang tadi punah buah bajunya dimakan samurai si Bungsu, perlahanlahan bergerak ke tepi dinding. Dari sebuah lubang kecil dia mengintai. Kemudian menghadap kepada teman-temannya yang memandang kepadanya dengan tegang.
“Semua petugas yang ada di luar sudah diringkus. Ada seorang nampaknya terluka. Kini dia terbaring di atas truk berlumur darah. . . Mana anak muda tadi?”
Tiba-tiba yang buah bajunya putus itu, yang rupanya bernama Datuk Putih Nan Sati yang dipanggil Syo sha tadi bertanya. Sebagai jawabannya dia mengintip lagi dari lubang kecil itu. Matanya coba mengintip ke luar. Menatap apakah di antara petugas yang tertangkap dan kini ditegakkan dekat truk itu ada si Bungsu atau tidak. Letih dia mencari anak muda itu tetap tak kelihatan.
“Dia tidak termasuk di antara yang ditangkap” katanya
“Apakah. . apakah tidak mungkin dia yang memberitahukan pada Jepang bahwa kita rapat disini,” salah seorang bertanya. Mereka saling pandang.
“Tak mungkin. Saya berani mempertaruhkan nyawa saya untuk itu . . .” Datuk Penghulu membantah, lalu mereka sama-sama terdiam.
Di luar hitungan sudah mencapai delapan Akhirnya si lelaki yang berbaju kuning, yang tak lain dari Sutan Baheramsyah yang menjadi pimpinan di antara seluruh mereka yang ada di rumah itu, tegak. Melangkah ke tengah ruangan.
“Apakah mereka memang bermaksud meledakkan kita dengan dinamit ?” tanyanya.
“Saya lihat memang begitu. …..” Datuk Putih Nan Sati yang kembali mengintai dari lobang kecil itu menyahut.
“Nah, kita kali ini kebobolan. Tapi daripada mati percuma, lebih baik menyerah. Saya yakin, dipenjara masih ada kesempatan untuk melarikan diri. Kalau kita menyerah, ada kesempatan bagi teman-teman yang lain untuk membebaskan kita. Mari kita keluar. .”
Sehabis berkata Sutan Baheramsyah melangkah ke depan. Yang lain tak dapat membantah. Sebab hitungan Syo Sha yang di luar sudah menyebutkan angka sepuluh Syo Sha itu sudah akan memberi isyarat untuk membakar sumbu dinamit, ketika pintu rumah itu terbuka. Lalu kelihatan Sutan Baheramsyah, Datuk Penghulu, Datuk Putih Nan Sati melangkah keluar bersama-sama teman-temanya yang lain.
Mereka berhenti dan tegak berjejer di depan rumah itu. Tegak berhadapan dalam jarak sepuluh depa dengan Syo Sha tersebut. Tak sedikitpun di wajah mereka tergambar rasa takut. Mereka menatap kepada Jepang-Jepang itu dengan kepala terangkat dan pandangan yang lurus.
“Silahkan tuan naik ke atas truk. …..” Syo Sha itu berkata. Dari bilik pintu dan jendela penduduk pada mengintip kejadian itu dengan perasaan tegang.
“Kami adalah para perwira. Menurut perjanjian militer kami harus pula diperlakukan seperti perwira ….” Sutan Baheramsyah berkata dengan nada datar.
“Tak ada tanda-tanda kepangkatan yang menandakan tuan seorang perwira, dan kami tak dapat memperlakukan tuan sebagai perwira karena tak ada tanda-tanda tersebut. . . .” Syo sha itu menjawab dengan nada tegas kemudian memberi perintah pada anak buahnya. Keenam lelaki itu digiring dengan bayonet terhunus ke atas truk yang telah menanti. Di atas truk, beberapa orang cepat membantu petugas yang tadi terluka kena tusukan bayonet. Namun dengan terkejut mereka mendapatkan pejuang itu sudah menghembuskan nafas yang terakhir.
“Jahanam. . benar-benar jahannam ..” Datuk Putih Nan Sati memaki.
Semua mereka sudah dinaikkan ke atas truk. Syo Sha itu melangkah mendekati jipnya yang terletak tak jauh dari truk itu. Dia melangkah dengan wajah angkuh dan lewat di depan kedai kopi dimana beberapa lelaki sedang terdiam. Syo Sha itu seorang perwira yang punya firasat tajam. Ketika lewat kedai kopi itu dia menyadari membuat Suatu kekeliruan kecil. Yaitu tidak memeriksa dan menangkapi lelaki yang ada dalam kedai kopi itu.
Siapa tahu di antara mereka ada pejuang-pejuang bawah tanah Indonesia. Siapa tahu di dalam kedai ada penembak tersembunyi. Menyadari kekeliruan kecil ini. Mayor itu segera menoleh ke belakang untuk memerintahkan pada bawahannya guna memeriksa lelaki yang ada dalam kedai tersebut. Namun instingnya terlambat. Firasatnya sebagai perwira intelejen ternyata tak menolong. Karena begitu dia berhenti untuk menoleh ke belakang, seorang lelaki tiba-tiba muncul di dekat jip yang dia naiki. Tak jauh dari sana, seorang kempetai yang tegak dengan bedil terhunus segera mengenali lelaki yang muncul itu adalah si Bungsu.
Kempetai itu mengangkat bedilnya dan menembak. Sebab sudah sejak sepekan yang lalu anak muda itu dicari dengan perintah Tangkap hidup atau mati. Kini dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Bukankah pangkatnya akan naik kalau d ia berhasil menembak mati anak muda yang telah membunuh banyak tentara Jepang itu? Dan impiannya itu sebenarnya bisa terwujud, yaitu kalau saja anak muda itu bukan si Bungsu Begitu mengangkat bedil, naluri si Bungsu yang amat tajam itu segera menyadari bahaya mengancamnya.



@



Tikam Samurai - 92