“Crasss!” Samurainya membabat perut Akiyama. Dan dia berputar, lalu menikamkan samurainya ke belakang. Snapp! Hampir seluruh samurai itu masuk ke dada Akiyama! Tikam Samurai!
Akiyama tertegak. Samurai masih ditangannya. Terangkat ke atas. Siap dibacokkan ke bawah. Ketengkuk si Bungsu yang menunduk dan membelakanginya. Yang jaraknya hanya sehasta dari tubuhnya. Namun dia seperti tak ada tenaga. Dia seperti dipakukan di samurai anak muda itu.
Tiba-tiba samurainya jatuh. Matanya layu. Tangannya memegangi samurai yang menikam tentang jantungnya. Si Bungsu tegak, masih memegang samurainya agar tubuh Akiyama tak jatuh. Mereka bertatapan. Tubuh mereka sama-sama berlumur darah.
“Tuan seorang samurai yang tangguh. Saya mendapat pelajaran yang banyak dari gerakan kaki tuan…’ si Bungsu berkata perlahan. Mata Akiyama yang layu membuka sejenak.
“Anak muda. Demi Tuhan, engkaulah samurai yang paling cepat yang pernah kutemui…. Saburo pun akan susah mengalahkanmu..”
Akiyama memandang keliling. Terutama pada komandannya, pada teman-temannya yang saat itu sudah tertegak ditempat mereka. Dan tiba-tiba kepalanya terkulai. Mati!
Jenderal Fujiyama dan para perwira itu pada berlompatan maju. Mereka bernita menyambut tubuh Akiyama. Namun si Bungsu telah memeluk tubuh lawannya itu. Dia membopongnya. Kemudian meletakkannya di atas podium dimana Fujiyama tadi tegak.
Kemudian perlahan dia mencabut samurainya. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal rasa haru. Emosi mereka telah terlatih demikian rupa. Kematian merupakan suatu kehormatan. Mati untuk Tenno Haika.
“Selamat atas kemenanganmu Bungsu. Engkau memang berhak atas kebebasanmu. Sesuatu yang kau perdapat dengan ketangguhan…” Jenderal Fujiyama berkata. Namun si Bungsu memasukkan samurai kesaringnya. Kemudian di bawah tatapan ratusan pasangan mata, dia melangkah gontai meninggalkan lapangan itu.
Ketika tiba di jalan raya yang lebih tinggi dari lapangan dimana dia baru saja bertarung, dia menoleh ke belakang dan di sana, di atas podium itu, dia lihat tubuh Akiyama masih terbaring di kelilingi teman-temannya.
Dia memanggil sebuah bendi kemudian menyebutkan alamat yang di tuju. Dan bendi itu berjalan terguncang-guncang. Dia telah membalaskan dendam Datuk Penghulu, membalaskan kematiannya. Kematian yang dibalas dengan kematian pula. Utang nyawa dibalas nyawa. Tapi sampai kapankah dia akan mencabut nyawa manusia?
“Badan anak muda luka, apakah kita tidak ke rumah sakit?” kusir bendi yang ikut menonton bertanya. Si Bungsu menggeleng.
“Tidak. Bawa saya pulang. Ada adik saya yang akan merawat…” katanya perlahan.
Dan di rumah Kari Basa, Salma terpekik melihat luka didada dan punggung si Bungsu. Dengan terhuyung si Bungsu dipapah oleh Salma kepembaringan di bilik depan.
Salma membuka baju si Bungsu. Kemudian mengambil baskom. Mengambil kain bersih dan membersihkan luka si Bungsu dengan air panas-panas kuku.
“Mana pak Kari….” Tanyanya perlahan.
“Kata Ayah dia ke Padang….”
“Masih lama akan kembali…?”
“Saya tidak tahu uda. Tapi diamlah, jangan banyak membuang tenaga….”
Dan anak muda itu memang terdiam. Bukan karena tak mau bicara. Tapi karena tak bisa bicara. Dia pingsan! Hal itu meleluasakan Salma untuk bekerja merawat luka si Bungsu.
Untuk kali ketiga, kembali gadis ini merawatnya dengan penuh ketekunan. Si Bungsu sadar bahwa berkali-kali dia datang pada gadis ini dalam keadaan luka. Dan Salma merawatnya hingga sembuh. Dia tidak hanya merawat luka di tubuh si Bungsu tapi juga juga luka dihatinya.
Ketiak dia telah sembuh, suatu hari didapatinya rumah itu penuh oleh beberapa perwira bekas Gyugun, Heiho dan pejuang-pejuang Indonesia.
“Kami datang untuk menyampaikan rasa terimakasih kami. Saudara telah banyak membantu perjuangan mencapai kemerdekaan. Telah banyak jasa saudara. Untuk itu kami ingin menyampaikan tanda penghargaan…’ salah seorang diantara pimpinan yang dia ketahui merupakan pimpinan pejuang-pejuang bawah tanah ketika penjajahan dahulu berkata. Semua orang yang hadir dalam rumah itu menatap padanya dengan kagum.
Dia juga menatap pada pejuang-pejuang itu dengan tenang. Lalu berkata:
“Terimakasih atas perhatian bapak-bapak. Tapi mohon dimaafkan saya tak berani menerima penghargaan dari bapak-bapak. Penghormatan untuk tanah air, perjuangan demi kemerdekaan Nusa dan Bangsa? Ah, saya bertanya pada diri saya, apakah hal itu memang pernah saya lakukan? Tidak, seingat saya tak pernah, jangan jadikan saya bahan lelucon”.
“Maafkan kami Bungsu. Tak sedikitpun kami berniat menjadikan saudara bahan lelucon. Penghargaan ini semata-mata karena ikhlas. Karena memang sudah menjadi hak saudara. Saudara telah berjuang jauh sebelum beberapa diantara kami berbuat apa-apa.
“Telah banyak korban saudara. Ayah, ibu, kakak, tunangan. Dan telah banyak yang saudara bela. Saudara telah membantu kami dan para pejuang ketika akan ditangkap Jepang di Birugo. Saudara telah membantu Datuk Penghulu, salah seorang perwira kami. Saudara telah memperlihatkan pengorbanan yang tak ada duanya…”
@
I. Tikam Samurai